Sunday, November 24, 2013

Secangkir Cinta dalam Sunyi

          Pagi itu seperti biasanya, perempuan itu duduk di bangku yang terletak di sebelah peron itu. Seakan-akan menanti seorang kekasih yang entah kapan akan kembali. Aku hanya bisa termenung dan memandang ke arahnya tanpa berani menyapa dirinya

"Mas, ada espresso tidak?" tanya seorang bapak tengah baya dengan sopan yang mengembalikanku ke realita.

"Wah, maaf pak kedai ini baru mau di buka" jawabku

"Oh, ya sudah" kata pria itu sambil berlalu

            Sudah kebiasaanku untuk menghabiskan pagi ku di stasiun itu, karena aku harus membuka kedai kecil yang lusuh ini. Perempuan itu selalu duduk di tempat yang sama setiap pagi dan orang berlalu lalang sambil menyapanya dan ia hanya bisa tersenyum untuk membalas sapa tiap orang. Pagi berganti menjadi siang dan kedai ini telah penuh sesak oleh banyak pelanggan yang selalu berdatangan untuk membeli segelas penyegar untuk dahaga mereka. 

     Tiba-tiba terdengar suara lonceng tanda ada pelanggan baru yang datang, "Selamat datang" sapaku ramah seraya menyerahkan daftar menu kepada pelanggan dan memberi kode untuk salah satu rekan kerjaku untuk mencatat apa yang diinginkan oleh pelanggan yang ku tinggalkan itu. Dia mulai melangkah maju dan tak ku sangka bahwa pelanggan baru itu adalah perempuan yang biasa duduk di pojokan peron stasiun. "Mau pesan apa?" tanyaku seraya menunjukkan daftar menu yang baru saja ku ambil dari konter. 

      Dia tidak menjawab hanya menunjuk salah satu menu yang ada dan aku kembali menanyakan apakah ada tambahan lain dia hanya menggelengkan kepala. Setelah aku memberikan menu yang telah dipesan kepada barista yang telah siap sedia di samping mesin kopi, aku beranjak dan siap untuk menerima pesanan namun aku merasa seakan-akan aku pernah mengalami situasi seperti ini dan benar saja ketika aku melihat ke arah perempuan itu aku melihat dia duduk di tempat dimana aku menemukan cinta pertama ku. 

        Rasanya baru kemarin saja aku bertemu dengan cinta pertamaku, walau sebenarnya peristiwa itu sudah lama terjadi. Perempuan itu sangat mirip dengan cinta pertamaku, rambutnya bahkan harum tubuhnya membangkitkan memori yang bahkan hampir memfosil di dalam benakku.

        Masih ku ingat hari itu, hujan turun dengan perlahan dan mentari masih urung menunjukkan senyumnya. Aku hanya diam dipinggir konter sembari membaca novel yang tidak ku baca dengan sungguh-sungguh karena aku hanya ingin mengusir kesepian yang datang bersama dengan hujan yang mengguyur. Jam menunjukkan angka delapan, seharusnya kedai ini semakin ramai namun kenyataannya sedari tadi pagi jumlah pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari tangan. Para pegawai pun mulai meninggalkan kedai ini karena ku pikir tak akan ada pelanggan lagi untuk hari ini. Tanpa ku sadari pintu kedai terbuka, ku pikir hanya angin malam yang secara tidak sengaja membuka pintu tersebut namun ternyata yang membuka pintu itu adalah seorang pelanggan yang parasnya amatlah cantik. "Maaf mbak, tapi kedai ini baru saja akan tutup" namun kataku itu hanya ku pendam dalam hati setelah ku cermati dengan seksama bahwa perempuan itu basah karena hujan yang mengguyurnya dengan kejamnya.
   
"Mau pesan apa mbak?" tawarku sekalipun tinggal kami berdua yang ada di kedai itu tanpa adanya pegawai lain yang biasa meracik kopi.

"Ada latte nggak mas?" tanyanya.

"Ada, tunggu sebentar ya mbak" jawabku sembari tersenyum padanya dan mencoba membuat latte pertamaku.

        Sesampainya di tempat meracik kopi aku binggung setengah mati karena yang biasanya mercaik kopi atau biasa disebut barista sudah pulang namun ada satu yang ku ingat dari perkataanya ketika aku bertanya padanya tentang bagaimana meracik kopi dengan komposisi yang pas dia hanya menjawab bahwa cara membuat racikan yang pas adalah dengan cinta.

"Mampus deh, cinta? Tapi masa hanya dengan cinta dapat membuat komposisi yang nikmat bagi pencicipnya?" Aku mulai ragu dengan diriku sendiri.

"Mas, itu yang di depan siapa ya? Pelanggan bukan?" kata barista yang ternyata belum pulang dan mengagetkan ku setengah mati.

"Iya mas, yakin hanya dengan cinta dapat membuat racikan yang pas?" tanyaku.

"Yakin aja mas" jawabnya sambil tersenyum.

        Setelah selesai menyiapkan bahan, meracik bahan, dan latte pertamaku siap untuk disajikan aku langsung membawanya di atas nampan. Dengan hati-hati dan perlahan aku berjalan menuju tempat pelanggan sekaligus cinta pertamaku, suasana malam yang mulai terasa dingin dan bulan yang perlahan mulai memancarkan sinarnya menemani kita berdua.

"Ini mbak lattenya, mbaknya keberatan tidak saya duduk di sebelah mbak?" tanyaku

"Nggak" jawabnya sekaligus tersenyum yang menambah romantisme malam itu

        Tiba-tiba barista lewat meninggalkan aku dan dirinya sambil mengacungkan jari jempolnya padaku dan ku sadari bahwa cinta pertama ku juga melihat kejadian itu tertawa kecil seakan menganggap kejadian itu lucu baginya.

"Lattenya enak nggak?" tanyaku mengawali percakapan itu

"Lumayan mas" jawabnya

"Lumayan gimana mbak? lumayan buruk ya hehehehe?" candaku

"Nggak mas?" katanya sambil tersenyum

        Aku dan dia menghabiskan malam itu dengan canda dan tawa menghangatkan suasana malam yang melenakan kita berdua. Hari demi hari berlalu cinta pertamaku selalu datang berkunjung entah hanya menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang denganku maupun bercanda ria dengan diriku. Pada akhirnya aku mengungkapkan perasaan yang sebenarnya sudah ada padaku sejak awal kita bertemu. Awalnya dia tidak menjawabnya dan mencoba mengalihkan topik yang ku anggap bahwa dia menolak rasa yang telah ku ungkapkan. Yah, namun semua itu hanya asumsi dariku karena perlahan-lahan dia mulai jarang mengunjungi kedai kecil ini.

        Tiba-tiba datanglah sepucuk surat dan setangkai bunga mawar yang entah dari siapa. Ku baca surat itu dengan perlahan dan tak terasa bahwa air mata ini mulai mengalir.

"Maaf, bukan maksud hatiku untuk menolak maupun mengabaikan perasaan yang kau berikan padaku namun satu hal yang perlu kau tahu bahwa sulit bagiku untuk membuka hatiku lagi setelah peristiwa kelam yang pernah aku alami sebelumnya dan menikmati waktu-waktu yang ku habiskan denganmu semua itu sangat berharga bagiku dan perasaan ini layaknya bunga mawar yang dapat mekar dengan indahnya namun duri yang ia miliki dapat dengan tajam menusuk diriku" begitulah sepenggal isi dari surat itu.

        Semua itu terasa memberatkan bagi hatiku, namun apapun yang terjadi dunia masih akan terus berputar dan aku tidak bisa selalu terkungkung dalam satu titik sekalipun itu adalah titik dimana aku mengalami depresi terbesar yang pernah ku alami.

        Dugaanku tak pernah salah walaupun ku pikir itu hanya perasaanku saja. Namun, harus berapa lama lagi aku menunggu? Harus berapa banyak lagi air mata yang harus terus menetes? Pada akhirnya aku melihat lagi sosok yang sama seperti yang dulu pernah mengisi hari-hariku tapi apakah cerita itu akan kembali terulang? Mampukah aku membuka pintu hati yang telah lama tersegel?

"Mas, mas cappuccino nya sudah siap" kata barista sambil menepuk pundakku

"O yaudah mas, ini pesanannya siapa ya?" tanyaku kepada barista itu

"Mikirin yang dulu lagi ya mas? menurutmu ini apa mas?" balas barista itu seraya mendekatkan cappuccino ke arahku

       Aroma hangat yang bercampur dengan susu yang sangat manis, mengembalikan fokusku yang sempat buyar karena melihat perempuan itu. Setelah memindahkan cappuccino dari tangan sang barista ke nampan yang sudah ku persiapkan, aku menuju ke tempat dimana perempuan itu duduk. Ku pandangi wajahnya yang mengarah ke luar jendela memperhatikan hujan yang turun dengan perlahan bersamaan dengan air matanya yang juga mengalir dengan perlahan. "Mbak ini cappuccino nya" kataku dengan sopan seolah-olah tidak melihat peristiwa singkat itu. Ia mulai menyeka bulir-bulir air mata yang menghiasi pipinya dan tersenyum kepadaku seakan-akan menunjukkan secercah sinar diantara kegalauan yang ia alami. "Ada apa mbak?" tanyaku karena rasa ingin tahu yang timbul secara tiba-tiba. Ia hanya menggelengkan kepala yang menandakan dia baik-baik saja namun sorot matanya mengatakan ada hal lain.

      Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu hidupnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang ku unggap mengusik kehidupan pribadinya, namun lagi-lagi rasa ingin tahu ku lebih besar dari rasa malu ku untuk menanyakan hal itu. Ia memulai membuka mulutnya ku kira ia hendak berbicara namun ternyata ia langsung menutup mulutnya dengan tangannya. Ia mulai membuka tas yang sedari tadi ia bawa dan mengeluarkan sebuah catatan kecil dan alat tulis dan menuliskan kata "Hai, siapa namamu" dan memberikan catatan nya kepada ku "Kevin, kamu ?" tulisku seraya mengembalikkan catatan kecil itu padanya “Mika”. Aku dan dia menghabiskan senja di temani dengan para pelanggan yang berlalu lalang dan perlahan di ikuti oleh para pegawai menyisakan aku dan dia yang bercanda tawa di temani oleh berlembar-lembar catatan yang penuh terisi dengan coretan-coretan yang tersusun sedemikian rupa yang menyampaikan perasaan yang ada di dalam diriku dan dirinya dan kita menyampaikannya lewat lembaran-lembaran kertas.

      Ada sebuah perasaan yang sempat mengganjal dalam batinku dan pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di dalam otak ku namun semua itu hanya ku pendam tanpa berani mengungkapkannya karena ku rasa hal itu akan mengusik dirinya dan membuatnya menjauh dariku. Hari mulai berganti, tiap pagi ia mulai menyapa ku dengan caranya yang unik yaitu menepuk pundak ku dan tersenyum kepadaku seakan-akan kita telah berkenalan sejak lama. Ia mulai rajin mengunjungi kedai ku dan berhenti meninggalkan kebiasaan lamanya yaitu berdiam diri sembari duduk di bangku di pinggir peron itu. Sebenarnya aku cukup senang dia sering mengunjungi kedai kecil ini sekalipun ia tak memesan apapun dari daftar menu. Tapi ada satu hal yang aku takutkan bahwa tragedi yang pernah terjadi dalam hidupku akan terulang kembali. 

       Namun pagi itu tidak seperti biasanya, dia tidak datang ke kedai ini bahkan semenjak pagi tadi tak ku lihat dirinya ada di stasiun ini. "Adakah sesuatu terjadi padanya?" pikirku sembari mulai membuka kedai kecil ini dan membalik tanda tutup menjadi buka. Walapun hujan namun akhir-akhir ini kedai tidak pernah sepi oleh pengunjung karena adanya menu baru yang cukup menarik bagi mereka. Sepanjang hari itu hujan turun dengan derasnya seakan-akan hendak mengulang peristiwa yang pernah terjadi, senja kembali turun dan kabut kembali datang dengan perlahan dan pengumuman keberangkatan dan kedatangan sudah berhenti berkumandang. 

      Petugas yang berkerja di stasiun, biasanya datang ke kedai ini pun sudah tidak ada yang datang lagi dan jumlah pelanggan mulai berkurang lagi malam itu pertanda bahwa kedai sudah harus ditutup. Hujan telah reda meninggalkan suasana malam mulai terasa dengan hawa dingin yang menusuk tulang, bulan pun seakan-akan tidak ingin menampilkan senyumnya. Seakan-akan hanya aku sendiri di semesta yang luas ini, tanpa adanya seorang pun yang menemaniku menghalau kesepian yang secara tiba-tiba menyerang seluruh persendian ku. Aku berharap dia hadir menemani diriku entah hanya sekedar melepas penat dengan menuliskan segala suatu yang ku rasakan pada dirinya melalui kertas-kertas yang ada dalam catatan kecilnya. Tak ku duga apa yang ku harapkan menjadi sebuah kenyataan dia datang namun ada sebuah kejanggalan yang aku rasakan, biasanya ia selalu membawa tas namun kali ini ia tidak membawanya dan menimbulkan sebuah pertanyaan besar pada diriku “Mengapa, ia tidak membawanya? Apakah ada sebuah alasan di balik tingkah lakunya yang janggal akhir-akhir ini?”

“Uhm, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu” katanya memulai percakapan, aku dulu sempat berpikir bahwa Mika memiliki sebuah alasan di balik kebungkaman dirinya.

“Eh, ada apa ya mik?” tanyaku setengah takjub tak percaya akhirnya Mika berbicara padaku

“Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ku bicarakan kepada mu sejak dari dulu” katanya

“Tentang apa ya?” tanyaku menanyakan tujuan dari kedatangannya yang mengejutkan diriku

“Aku...” dia tidak melanjutkan kata-katanya dan langsung berlalu ke arahku dan memeluk diriku seraya menangis dan mengatakan “Aku cinta padamu”.

Saturday, November 23, 2013

Pertanyaan yang Tercipta

Untuk: Seseorang yang dekat namun terasa jauh

     Ku titipkan kado terindah untukmu, kado yang tersusun dari jutaan rasa suka dan air mata. Kado terindah yang bisa ku berikan untukmu sebagai ungkapan sesal dan rasa bersalah yang ku pendam. Semua perasaan ku ku curahkan ke dalam kado terindah yang dapat ku berikan padamu walaupun berjuta air mata telah jatuh ke bumi namun sudah aku maklumi semua itu. Adakah engkau merasa apa yang ku rasa? Ketika perasaanku yang telah ku sampaikan padamu berakhir tanpa sebuah alasan yang ku anggap tidak jelas. Sebenarnya aku ingin mengungkapkan semua perasaan yang ada di dada namun aku hanya dapat menyimpannya dan menjejalkannya ke dalam kado ini, meskipun apa yang terlihat tak seindah yang kau bayangkan namun inilah realitanya. 
     
     Satu hal yang ku takutkan setelah hari ini adalah ketika aku tak bisa melihat parasmu yang ayu lagi yang bagi ku cukup untuk sejenak menghilangkan semua masalah yang ada di pundakku. Aku sering ber-euforia memikirkan dirimu sebagai seorang yang dapat benar benar mengobati hati ku yang terluka. Ingatkah kau tentang kejadian di depan benteng Vredeburg? Sebenarnya peristiwa itu selalu teringat dalam pikiran ku tak mau hilang dari benakku ketika sesosok perempuan yang ku anggap sempurna akhirnya dapat berbicara denganku. 

     Dan ingatkah dirimu ketika kita mulai saling berkirim pesan? Ku rasakan semua yang engkau tuliskan berbeda dengan apa yang selalu kau lakukan. Engkau dapat bercanda ria melewati seluruh pesan yang aku kirimkan kepadaku, namun ketika ku lihat dirimu di saat kita berdinamika bersama dirimu, engkau hanya dapat bercanda dan tertawa lepas ketika dirimu sedang bersama teman-teman mu. Aku ingin melihat dirimu tersenyum lagi seperti dahulu kala walaupun hanya sekejap mata namun itu sangat berharga bagiku.

     Temanku, adakah kita dapat bertemu lagi di kemudian hari? Mungkinkah waktu akan mengijinkan diriku untuk berjumpa dengan dirimu? Dapatkah aku berkirim pesan lagi tanpa ada perasaan yang membebani diriku dan dirimu? Aku tak yakin tahun depan kita akan dipersatukan dalam lingkaran ini lagi, sekalipun kita masih dapat bersama aku ragu kau akan membuka pintu hati yang tertutup bagiku.

Tuesday, November 5, 2013

Jejak yang Mulai Sirna

          9 September 2013, Jalan Malioboro menjadi saksi bisu awal mula dari perkenalan dua insan manusia yang berawal dengan senyuman namun berakhir dengan deraian air mata walau tak nampak bagimu.
         
         Sedikit percakapan, ku tatap matanya dengan segenap jiwaku mencoba memberanikan diri walau ku lihat bahwa kau mulai berpikir bahwa aku sedikit canggung. Ya, ku akui memang aku canggung, aku penakut, aku tak pantas untuk kau jadikan sebagai suatu bagian dari kisah bahagiamu. Namun tidakkah engkau memperhatikan kegundahan hati ini pada saat awal kita berjumpa? Tidakkah kau lihat nanar mata penuh harapan itu? Apakah engkau melihat apa yang ada dalam hati ini?
       
         Walaupun aku tahu semua ini hanya akan bermuara pada hal yang sama, cerita yang terulang lagi dan lagi, Trauma akan kegagalan yang selalu menghantui ku mulai mewujud dan timbullah suatu pertanyaan dalam hatiku : “Vin, kamu nggak kapok gagal terus?” Setan itu bertanya dan tertawa terbahak-bahak. “Nggak, kali ini ku yakin aku bisa!” Jawab seorang Kevin yang naif dan penuh percaya diri yang berlebihan. “Bodoh kamu!” Teriakku kini bila mengingat aku yang dulu. “Huh, dasar orang yang selalu luput! Udahlah nggak usah kamu kejar lagi dia! Lihatlah dia tidak pernah mencoba membuka dirinya padamu!” Kelakar Iblis dalam diriku.
      
        Mungkin awalnya terasa bahagia, setelah aku mendapat nomor telepon dari dia yang ku pikir akan menjadi cinta terakhirku (Bullshit!) aku dan dia mulai saling berkirim pesan.

10 September 2013

“Hai, ingat aku nggak” tulisku yang ku anggap agak aneh memang

“Siapa?” balasmu, hampir saja aku frustasi menunggu pesan darimu yang sudah hampir tiga jam tak kunjung datang-datang

“Hayo coba ditebak” godaku

“Ini nomer’a siapa? Sorry hahaha” balasmu secara singkat.

“Yang kemarin di Jalan Malioboro minta nomer sapa? Masak lupa?” tanyaku untuk menjawab pertanyaan itu

“Ooh, leon kevin?” ingatmu

“Bukan, namaku bukan leon kevin” balasku untuk mengklarifikasi hal itu

“Leon waktu di sekolah. Kevin waktu teater, kalo waktu di rumah apa dong? ckckckckck” tanggapmu

“Sms ku yang kemarin-kemarin sampai nggak?” tanyaku lagi

“Kemarin malam baru liat terus lupa nggak ku bales, hehehehe. Kamu asli Yogyakarta?” tanyamu agak 
penasaran

“Iya, btw what’s app lagi mu error ya?” tanyaku agak berbasa-basi

“Iyaa, kamu SMP dimana?” tulismu, menanyakan latar belakang dari masa laluku

“SMPN 6 Yogya, kamu?”
***
          Sore itu terasa sangat cepat berlalu, aku ingin agar hati-hari selanjutnya selalu sama. Yah, tapi ini realita yang harus terjadi tidak akan terulang tidak akan kembali hanya dapat terkenang menjadi selembar tipis coretan tinta yang ditorehkan dengan indah darimu untukku.

             Hari demi hari berganti hingga tak terasa sudah beranjak dan mulai kujalani hari dengan ceria berkat dirimu. 28 September 2013 adalah hari yang ku rasa jarak antara diriku dan dirimu semakin dekat, aku mulai memperkenalkan keluarga ku, begitu juga dirimu. Dan kau dan aku bercanda ria bercerita kesana kemari pada tanggal 29 September yang terasa baru kemarin hal itu terjadi, adakah kau merasakan hal yang sama seperti yang ku rasakan?

         Orang yang sedang dimabukkan oleh perasaan cinta jarang menggunakan otaknya untuk berpikir secara logis. Ku kira aku dapat mempercayai semua yang engkau bisikkan kepadaku ku kira semua yang kau katakan benar adannya namun apa mau dikata? Manusia tidaklah sempurna! Dan kau mulai berbohong kepadaku dan yang membuat hati ini lebih tercabik, kebohongan mu ku ketahui dari orang lain! Bukan dari bibir manismu yang selalu tersenyum di akhir percakapan kita.

          Perasaan suka padamu yang ada dalam diri ini semakin hari semakin menggebu-gebu dan tahukah kamu pada saat teman-temanku mulai menghinaku karena candaanku tentang dirimu, aku coba bertahan dalam kondisi bimbang. “Hai, luput” begitu cara mereka memanggil ketua kelas mereka. Aku tidak peduli karena yang ku dengar berbeda dengan apa yang orang-orang ucapkan, mereka mengatakan seperti itu namun ku rasa mereka mengatakan “Gimana keadaan orang yang kamu sukai eon? Udah di bales belum sms nya yang kemarin-kemarin?” (Pada mulanya)

           Perasaan ku mengatakan padaku bahwa aku perlu melakukan inovasi supaya memudahkan ku untuk menyampaikan perasaan yang ku miliki untuk dirimu.

“Halo, din” kataku sambil memukul transmitter antena televisi yang menampilkan gambar yang kurang fokus.

“Tumben telepon ada apa’e?” tanyamu

“Nggak papa cuma iseng aja, gimana anak asrama malmingnya?” tanyaku mendengar riuh orang-orang di ujung telepon sana

“Ya, nonton tipi kalo kamu?” balasmu

“Sama sih, jomblo soalnya” jawabku sedikit bercanda

“Eh, udah ya pengen ngelanjutin nonton dulu ya” jawabmu

“Ya udah mesti nonton OVJ kan?” balasku dengan naifnya

“Kok tahu’e?” katamu agak bingung

“Lha, di sini juga sama ya udah lanjutin aja nontonnya” jawabku

          Ada yang bilang orang menahan rasa suka itu seperti menahan kentut, bahkan yang agak membuat diri ini sempat berefleksi adalah ketika kamu manahan rasa itu berarti kamu tidak bersikap layaknya ksatria, padahal ngakunya di sekolah di ajarkan bagaimana menjadi laki-laki. “Ash, ini udah harus di ungkapin nggak mungkin nunggu lama lagi” pikirku mulai menggila setelah menyadari bahwa aku sudah mencoba menjalin hubungan itu selama satu setengah bulan dan aku pikir itu waktu yang cukup lama. “Tapi bukankah perlu strategi dan rencana yang matang?” tanya diriku yang satunya.

        Dan pada akhirnya aku mengatakan perasaan suka di senja pada hari Minggu, namun saat ku lihat raut wajahmu yang selalu tak dapat ku tebak aku mulai ragu kau akan menerimaku. “Maaf, vin tapi mending kita fokus dulu sama apa yang kita jalani sekarang” katamu. “Anjing, kenapa semua ini harus terjadi setelah apa yang kita lewati bersama?” tanyaku dalam hati. “Jawaban atas perasaanku aku tunggu sampai semua dinamika ini selesai ya?” pintaku. “Ya” jawabmu memberikan secercah harapan bagiku.

        Datanglah hari dimana semua ini mulai berakhir, semua itu berawal ketika aku membuka sms darimu dan engkau menuliskan “Vin, jujur-jujuran wae yo mending kamu jangan ada rasa sama aku.” Semua ini berakhir, ya trauma ku kembali terulang? Tidak ! masa laluku hanya sebatas masa lalu sedangkan ini adalah realita yang harus ku jalani kini. Dan ketika teman-temanku menyerukan kata “luput” padaku aku hanya bisa menjerit, menangis, meratapi kegagalan ini. Mungkin ini bukan salahmu mungkin ini adalah salahku yang terlalu memberi pengharapan tinggi padamu dan ketika aku melihatmu bercanda dan tertawa dengan seseorang yang ku kenal sebagai penjual dagangan itu aku hanya bisa berpikir “Asu vin, kwe kalah karo wong koyo ngono”


        Yah, tapi biarkanlah masa lalu berlalu cinta datang cinta pergi tak pernah berhenti di suatu titik pasti mobilitas selalu terjadi entah dengan konflik pikiran maupun batin entah dengan tetesan keringat dingin maupun air mata dan perasaan ini masih ada untukmu selalu menantimu di saat engkau siap melihat apa yang ada dalam diriku namun masih ada sebersit pertanyaan besar yang mengganjal pada diriku yaitu: “Apa alasanmu menghentikan semua ini?” Cinta, air mata, dan duka selalu berkeliling di sekitarku kegagalan sudah biasa kemenangan hanya Tuhanlah yang tahu siapa yang akhirnya akan menjadi jodohku, cinta hanya bisa diusahakan tidak bisa dipaksakan!.

Tuesday, October 29, 2013

Janji di Kala Senja


          Masih terkenang tempat dimana kita mengikat janji di tepian pantai menanti mentari tenggelam sembari memandang ombak yang terus mencoba untuk menginterupsi pembicaraan kita.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu” kataku mengawali perbincangan di awal senja itu

“Ngomong apa ya vin?” tanyamu sedikit kebingungan

“Ah, sebenarnya aku punya sesuatu yang ingin ku berikan kepadamu” ingatku sembari memberikan setumpuk kertas yang sudah ku persiapkan sebelumnya

“Apa ini?” tanyamu sembari mencoba mencermati kertas yang sudah ku berikan padamu

“Menurutmu aku berbakat menjadi seorang penulis cerpen tidak?” tanyaku sedikit bercanda sekaligus menjawab pertanyaanmu

“Eh, nggak hehehehehe” jawabmu dengan nada yang riang seperti biasanya saat kita sering bercanda dan tertawa bersama

“Serius?” tanyaku lalu kamu langsung mencipratkan air lalu yang agak dingin lalu berlari dan segera ku kejar.

           Kita berlari hingga lelah dan pada akhirnya kita saling berpandangan dan tanpa ku sangka kata-kata itu melesat begitu saja “Aku suka kamu”. “Aku juga suka dirimu yang selalu ada untukku” katamu seraya memadang jutaan bintang yang ada di angkasa. Bulan pun perlahan-lahan naik menggantikan sang surya yang sudah tenggelam menambah indahnya malam itu.

          Namun masihkah teringat padamu peristiwa itu? Adakah terkenang dibenakmu kini? Karena ku rasa semua berlalu begitu saja engkau menghilang bak ditelan bumi. Semua perubahan itu mulai terasa ketika kita mulai menginjak bangku SMA, aku masih berada di Jogjakarta sedangkan engkau berpindah karena ingin melanjutkan pendidikan di sekolah yang menurutmu lebih baik.

“Mengapa, bukankah engkau telah berjanji untuk terus bersamaku?” hanya kata itu yang dapat ku ucapkan padamu melalui teleponku

“Maaf” katamu seiring jatuhnya air mata

          Bukan maksudku untuk melukai hatimu apalagi membuatmu menitikkan air mata namun apakah kisah cinta yang berakhir bahagia hanya ada di film-film? Mungkinkah kisah cinta yang bahagia akan terjadi bagiku? Lalu ku siapkan seluruh tekadku, ku tutup telepon itu ku siapkan secarik kertas yang sudah lama ingin ku berikan kepadamu ku nyalakan sepeda motor dan ku lihat jam dinding yang menunjukkan masih ada dua jam sebelum keberangkatanmu.

          Sesampainya di bandara ku lihat dirimu dan semua anggota keluargamu yang telah bersiap lalu ku berlari menghampirimu ku berikan kertas itu padamu tanpa peduli tentang apa yang akan terjadi selanjutnya dan aku langsung berlari menjauh.

         Tiga bulan telah berlalu setelah kejadian itu lalu tak sengaja aku mendapatkan sebuah pesan singkat darimu yang perlahan mulai ku lupakan walaupun tak pernah hilang dari benakku. “Terima kasih atas semua yang udah kamu berikan untukku dan sebenarnya apa yang kamu tuliskan di kertas itu juga sama seperti apa yang kurasakan sesaat sebelum aku beranjak menjauh”. Ternyata apa yang ku rasakan tak pernah ku tanggung sendiri, kesedihan ini perlahan mulai berlalu bersamaan dengan berhembusnya angin baru dalam hidupku.

Monday, October 28, 2013

Diary Of "Galau" Cemplon

"Kamu harus berani" Pikirku dalam hati di ujung jalan Malioboro

"Hai" sapaku dengan gugup

"Hai juga" balasmu dengan tersenyum, bagiku sangatlah menarik melihat dirimu tersenyum kepadaku kala itu.

"Boleh minta nomor handphone mu nggak ? hehehehe" sambungku

            Dan ia pun memberi nomor teleponnya padaku, awalnya ku pikir ini langkah yang baik untuk menjalin relasi menuju proses pacaran. Namun kenapa akhir-akhir ini semua berat terasa? awalnya pesan-pesan balasan darimu selalu ku terima dan ku bayangkan dirimu tertawa membaca pesan singkat dariku. Semua terasa cepat berlalu hingga tak terasa sudah satu bulan aku menjalin relasi yang tidak jelas ini dan mulailah ku pikirkan strategi-strategi agar mempermudah diriku untuk mencapai momen dimana seorang laki-laki mengungkapkan perasaan suka yang ada pada dirinya kepada seorang gadis. 

           Dengan hati-hati ku coba rangkai huruf-huruf acak yang ada di dalam kepala ini sehingga menjadi kata-kata yang menyusun kalimat. Walaupun masih membentuk kalimat yang acak namun ku beranikan diri menekan tombol demi tombol yang tercetak di papan QWERTY itu. 

"Halo" Kataku mengawali percakapan itu.

"Tumben kok nggak sms?" tanyamu

"Improvisasi sekali-kali bosan sms" jawabku sekaligus bercanda

"Hehehehe" balasmu, tawamu masih ku ingat dalam benakku hingga kini.

"Lagi nonton tivi ya?" tanyaku mendengar riuh orang-orang di ujung sana.

"Iya" jawabmu.

"Sama teman-teman satu asrama?" tanyaku lagi.

"He'e" jawabmu singkat.

"Adek-adek lagi pada ngapain?" tanyamu.

"Udah pada bobok kecapean, kamu belum tidur?" jawabku sekaligus bertanya padamu dan mengecek jam yang terpasang di dinding yang menunjukkan pukul 22.00

"Belum ngantuk" jawabmu santai

"Aduh, kayaknya bentar lagi ...." sambungku dan benar saja pulsaku sudah berada di bawah batas minimal untuk menelepon.

          Dan beberapa minggu setelah kejadian itu berlalu pada suatu malam minggu ku beranikan diriku lagi untuk menelepon dirimu namun apa mau di kata hanya suara operator yang ku terima di ujung sana dan ku kirim pesan singkat padamu di bawah sinar rembulan yang perlahan mulai muncul. Dan akhirnya kamu mengangkat telepon dariku, sebenarnya ingin ku ungkapkan perasaan suka yang sudah lama terpendam namun aku masih belum siap untuk mengatakannya dan aku hanya bisa mengucapan bahwa pada hari Minggu aku ingin berbicara padanya.

          Setelah melewati seluruh dinamika yang sudah direncanakan di temani jutaan bintang di angkasa raya, aku mengungkapkan perasaan yang kurasa suka karena cinta itu membutuhkan komitmen yang mengikat antar dua insan manusia sedangkan perasaan suka menurutku lebih mudah untuk dijalani daripada cinta walaupun garis batas imajiner antara cinta dan suka itu tak bisa ditemukan.

"Gimana menurutmu kamu mau nerima apa enggak?" tanyaku

"Mending fokus dulu sama apa yang lagi kita jalani sekarang aja" jawabmu yang kurang memuaskan bagiku

"Kalo semua rangkaian acara ini udah selesai kamu kasih jawabannya ke aku ya?" tanyaku lagi

         Kamu tidak menjawab hanya mengangguk yang ku artikan sebagai tanda setuju dan menyisakan sebuah pertanyaan besar padaku "Mungkinkah perasaan suka yang ada diriku juga kau rasakan?".

Friday, September 27, 2013

My Little Story Part 1

          Senja kembali turun, bersama semua kegundahan hati yang perlahan meradang. “Masih adakah cintamu di hari esok untukku?” lamunku dalam hati. “Dapatkah aku membalik lembaran usang yang dinamakan catatan perjalanan cinta itu?” sambungku. “Mungkinkah aku dapat menghapus kabut yang bernama kegundahan dan kegalauan itu?” lanjutku. Memang banyak keraguan dalam hati kecilku, aku memiliki ketakutan dan ada secuil trauma yang masih tertinggal dalam lubuk hatiku sehingga aku memiliki asumsi bahwa kisah ini akan membekaskan kenangan pahit lagi.

          Semua trauma itu bermula dari masa SMP ku, masih segar dalam ingatanku pada saat pendaftaran ulang aku melihat seorang perempuan yang elok parasnya seperti diukir oleh mahadewa pemahat yang mahakuasa. Aku hanya terdiam dan memandang kearahmu tak bisa mengucapkan sepatah kata pun serasa kerlingan matamu itu mengisyaratkan padaku untuk memandangmu tanpa berkedip sedikitpun. Rambutmu yang hitam panjang tergulung dengan indahnya oleh sebuah jepit rambut yang menambah nilai estetika yang sudah dianugrahkan dewata pada dirimu. Momen ini mungkin tak pernah engkau sadari karena dirimu sibuk sendiri melihat papan pengumuman yang berwarna hijau itu dan tak sedetik pun menoleh ke tempatku berpijak dan memandang diriku.

          Dan masih teringat hari-hari dimana setelah aku menaruh tas punggung beserta beraneka macam barang yang dibutuhkan sebagai media untuk guru agar dapat menyampaikan ilmu yang akan mereka berikan kepada muridnya di kelas 7F dimana kelas 7F adalah kelas paling pojok, terpencil, dan kebanyakan berisi para murid yang sengaja di buang karena keyakinan agama nya merupakan minoritas dan para petinggi kaum mayoritas setuju untuk menempatkan kami disini. Tiba-tiba saja kamu datang dengan membawa tas biru (yang selalu ku kenang dalam perjalanan hidupku hingga kini) dan kamu langsung menaiki tangga. “Yes” pikirku pasti kamu kelas 7F dan itu berarti aku dan kamu seagama jadi kita dapat mudah menjalin relasi (“persetan dengan agama sekalipun agama aku dan kamu sama ternyata tidak akan menjamin kepastian hubungan dalam sebuah relasi” pikirku kini setelah jauh melangkah). Dan ternyata apa yang ku duga meleset namun tidak jauh ternyata kamu masuk kelas 7E. “Asyik, berarti kemungkinan dia juga hampir sama denganku” pikirku yang pada saat itu masih memiliki pola pemikiran yang kekanak-kanakan.

           Pagi itu adalah awal baru dalam hidupku setelah aku menyelesaikan pendidikan pada strata sekolah dasar, aku melanjutkan ke salah satu SMP yang terkenal karena keunggulannya baik dalam bidang kurikulum pendidikan maupun ekstrakurikuler khususnya basket dan SMP ini terletak di jalan RW Monginsidi 1 Yogyakarta. Tak dapat dipungkiri bahwa saat aku melihatmu naik, hati ini seakan-akan melonjak kegirangan. Aku seperti melihat sang rembulan, di kala malam mulai datang dan membawa hawa dingin dan kesepian namun semua itu terkalahkan oleh sang rembulan yang selalu mencoba menghangatkan malam-malamku. Tanpa sadar seminggu telah berlalu dan kejadian itupun masih sering terjadi di pagi hari dan tanpa bosan aku selalu mengikuti rutinitas yang sama walaupun harus menunggu dirimu sampai bel berbunyi dengan nyaringnya aku akan tetap menunggu hingga kamu masuk ke kelasmu namun jika aku melihat guru yang ingin memberikan ilmu sudah hampir masuk ke dalam kelasku maka aku akan segera masuk.

“Dab, aku nyileh bolpenmu oleh ra?(Bro, aku pinjam bolpoinmu boleh tidak?) ” kataku untuk menjalankan niatan awal memulai hubungan dengan pujaan hatiku.

“Nggo ngopo? (Untuk apa?)” tanya temanku

“Yo, tak silih sek mengko nek wes rampung yo tak balekke oleh ra? (Ya ku pinjam dulu nanti setelah selesai ku pakai pasti aku kembalikan boleh ku pinjam tidak?)” sambungku karena situasi saat itu adalah jam istirahat sebelum tambahan pelajaran siang di mulai.

“Ki, mok nggo sek mengko yen iso kok nggo wae tur yen wes rampung kok balekke lho (Ini, kamu pakai dulu kalau nanti bisa kamu pakai dahulu tapi kalau sudah selesai dipakai kembalikan padaku)” kata temanku seraya meminjamkan bolpoinnya kepadaku.

“Waduh bolpoinnya macet padahal bentar lagi surat ini jadi” pikirku.

          Aku bingung tapi surat itu tetap kulanjutkan dan isinya bahwa aku ingin mengenal lebih dekat tentang dirimu. Sebetulnya tujuan dari surat ini sederhana namun mungkin kamu salah tangkap atau menganggap bahwa surat ini adalah surat cinta dari orang aneh. Lalu surat itu kutitipkan pada temanku yang kebetulan satu kelas tambahan denganmu

          Pada waktu tambahan pelajaran kedua di mulai datanglah guru matematika yang sampai saat ini tak akan kulupakan karena gaya pengajarannya yang cepat namun dapat dengan mudah ku cerna. “Ndut, kamu tha yang membuat surat cinta untuk siswi dari kelas 7E itu?” suaranya membuyarkan konsentrasiku. “ Mampus nih, masak belum ada apa-apa guru udah tahu duluan?” pikirku. Namun saat aku menoleh untuk menjawab ternyata guru itu bertanya pada murid yang salah dan murid itu masih teman satu kelasku. “Selamat, ternyata reputasiku masih aman” karena hal itu aku tiba-tiba tertawa kecil seperti orang gila.

          “Ada apa nak?” tanya guru itu secara tiba-tiba kepada diriku. “Ndak ada apa-apa pak” jawabku setengah ketakutan. “Sudah selesai yang mengerjakan?” tanyanya lagi seperti hendak menginterogasi diriku. “Sudah pak” jawabku santai. Dan pada saat guru itu mendekati mejaku untuk mengecek hasil pekerjaan ku dia bertanya lagi “Kok bisa-bisanya kamu di masukkan ke kelas tambahan 7C bukan di 7A?” tanyanya lagi sambil memegang buku catatanku. Aku diam saja karena tidak tahu apakah guru ini memujiku atau malah mencibirku. Seusai tambahan pelajaran aku hendak langsung pulang namun tiba-tiba saja langkahku saat menuruni tangga di hentikan oleh seorang perempuan dan dia berkata “Namamu Kevin ya?” tanyanya. “Waduh ada apalagi ini?” pikirku. “Iya, ada apa ya?” jawabku. “Kamu yang membuat surat cinta itu kan?” tanyanya lagi. “Mampus, kayaknya di sekolah ini ada CCTV rahasia nih” pikirku lagi. “Kamu tahu nasib suratmu itu nggak?” tanyanya lagi dengan nada yang ku anggap mengejekku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menunggu reaksi darinya. “Coba cek tempat sampah di kelas 7B deh” suruhnya. Seperti celeng yang hidungnya diolesi balsam aku berlari lagi menaiki tangga dan menemukan sebuah sampah, ya satu-satunya sampah yang ada di sana ku pikir sampah itu masih baru sampai aku membuka kertas kumal itu. “Sialan, ini kan surat yang ku tulis kok bisa sampai di sini ya?” gumamku dalam batin. Aku turun tangga lagi dan saat aku melewati sekumpulan perempuan maupun laki-laki yang ku pikir masih satu angkatan denganku mereka berbisik-bisik yang suaranya dapat terdengar oleh telinga ku yang agak sensitif. “Eh, coba lihat itu loh ada anak kelas 7F yang ditolak” sambil tertawa mereka mengejekku.

          Kala itu cuaca mendung dan tetes demi tetes air mulai turun dari langit. Aku berpacu dengan waktu karena waktu itu agak gelap jadi pesan ibuku yang mengatakan “Kalau pulang naik angkot jurusan 23” tapi karena keadaan saat itu membuatku kalap aku langsung naik angkot tanpa melihat jalur yang tertera pada bagian depan angkot itu. Sesampai di dalam angkot aku bertanya pada salah satu teman kelas 7F “ Ini jalur berapa ya?”. “D2” jawabnya. “Mampus udah ditolak, kehujanan, salah naik angkot lagi” pikirku. “Yah, semoga saja nanti saat di perempatan Monumen Jogja Kembali cuaca sudah terang” sambungku. Dan benar saja pada saat turun dari angkot cuaca sudah mulai terang. Lalu aku menunggu angkot dengan berjalan kaki ke arah utara dan akhirnya ada satu yang lewat dan langsung ku kejar. “Semoga saja besok saat masuk ke sekolah kejadian hari ini tidak menjadi gosip di seantero sekolahan” doaku seraya mencium aroma tanah basah dari arah luar angkot. 

Thursday, September 26, 2013

Cerita Retorika

           Asumsi adalah salah satu tingkatan terbawah dalam berpikir namun asumsi terkadang di rasa kurang pas untuk menyatakan argumen. Tapi mengapa akhir-akhir ini asumsi-asumsi tiba-tiba muncul dari dalam benakku. Apakah karena aku takut kehilanganmu sebelum engkau menjadi milikku? Ataukah karena aku takut untuk menderita lagi? Semua ini bermula di jalan Malioboro yang menjadi saksi bisu bertemunya dua insan.

          “Eh..... uh bisa minta nomor teleponmu ndak?” Tanya ku tergagap-gagap sambil mengumpulkan nafas sehabis mengejarmu yang secara tiba-tiba meninggalkan konser kecil di pingir jalan itu. Dan secara tidak sadar aku melihat momen itu. “Ya” Katamu secara singkat namun kurasa cukup memberi efek yang besar pada diriku. Lalu aku dan kamu berbincang-bincang sedikit tentang sekolah, asal, dan sebagainya. Dan kita sampai di Benteng Vredeburg dimana aku memarkirkan sepeda motorku sedangkan kamu hanya mengendarai sepeda onthel.  “Sekalian saja aku membayarkan parkir sepedamu saja ya?” pikirku. Lalu setelah aku melewati parkiran sepeda dan membayar parkir, kamu tersenyum dan mengucapkan kata terima kasih. Namun tiba-tiba di jalan aku mendapat firasat yang kurang enak dan benarlah ternyata yang menjadi sumber kegelisahanku berasal dari sepeda motorku yang mulai tidak seimbang dan mulai bergoyang. “Waduh, moga-moga nggak hujan nih” Pikirku setengah berharap. Namun sepertinya harapanku tidak sejalan dengan realitanya karena perlahan-lahan butiran air jatuh ke bumi. “Wah, udah malam, ban bocor, tambah hujan lagi” Batinku namun itu semua kurasakan tidak ada artinya dibandingkan mendapatkan sebuah deret angka yang sengaja disusun urut dan nomor itu telah aku miliki. Hari-hari menjadi lebih indah daripada yang sebelumnya dan perlahan-lahan aku mencoba menutup lembaran lama nan usang yang menyimpan duka dan derita, dan ku coba membuka lembaran baru yang masih putih dan belum tercoret oleh tinta apapun. Dua hari kemudian tepatnya pada hari Sabtu aku mencoba berkenalan lebih dekat denganmu.
“Halo, lagi ngapa kamu disana” ketikku untuk mengirim pesan dan mencoba memulai pembicaraan ini.
“Ini nomernya siapa?” balasmu dengan tambahan yang membuatku tersenyum karena berimajinasi bahwa kamu disana juga merasakan hal yang sama denganku.

“Yang kemarin tu loh masa lupa?” Candaku

            Lalu aku dan kamu saling bertukar cerita dan candaan. Ah, malam itu kurasakan aku ingin terjaga semalaman. Bulan bersinar dengan terangnya dan menemaniku bercanda malam itu setelah kamu mengetikkan kata “ Ok see you, Gbu” yang langsung ku baca.  Aku sudah tidak sabar untuk menemuimu di hari Senin sore.

          Hari yang kunantikan akhirnya tiba, walau dalam hatiku ini ada perasaan yang menggebu-gebu untuk banyak bicara padamu namun aku dituntut untuk profesional dan bisa menempatkan diri. Dan setelah matahari tenggelam dan ekstrakurikuler selesai aku mencoba memulai percakapan denganmu.

          Tapi akhir-akhir ini kurasakan dirimu seakan-akan mencoba menghindari diriku. Dan yang paling “pahit” menurutku adalah saat aku melihat dirimu bercanda dan berbicara dengan adik kelas dan kamu tak pernah seperti itu saat berbicara bersamaku. Aku ingin marah sekaligus takut akan mengulangi kejadian dulu sebelum aku bertemu denganmu karena sudah berpuluh-puluh kali ku rasakan rasa “pahit” ini.

          Pemberi Harapan Palsu hanya mitos itu kata teman-temanku, “Cobalah bertahan” mudah untuk bicara tapi sulit untuk dijalani. “Apakah aku akan kembali menjadi diriku yang dahulu sebelum bertemu denganmu?” tanyaku seraya mulai meninggalkan kantin itu.


          Senja turun lagi, ya senja selalu turun tidak pernah dapat dipungkiri bahwa senja selalu menepati janjinya tidak seperti mentari yang terkadang terpaksa harus mengingkari janjinya karena sibuk bercinta dengan awan. 

Wednesday, September 25, 2013

Dilema

            Mengapa, kata itulah yang pertama kali terbersit di benakku. Semua tak seindah katamu dunia yang dulu ku kenal berbeda dengan yang sekarang, dunia kini serasa mengharu biru bagiku. Inginku berkehendak lain namun takdir mengatakan yang sebaliknya hingga perpisahan pun yang menjadi solusinya. Solusi terbodoh yang pernah aku temui. Rintik hujan yang berjatuhan menemani bau tanah yang basah dan temani kita di bandara itu.

“Kamu harus mencoba berpaling dan melupakanku” katamu

“Tapi, seharusnya bukan ini yang terjadi. Orang tuamu ingin aku menjadi seperti ini kan?” hanya itu yang bisa aku keluarkan dari mulutku yang hina.

“Ya, semua ini keinginan orang tuamu kan? Memiliki seorang laki-laki mapan untuk mendampingimu dan bukannya seorang pelajar?” Suara hatiku berteriak, berteriak dalam benakku.

“Tapi, aku suka dirimu yang dahulu! ” Balasmu bersamaan dengan datangnya hujan dari air matamu yang tak pernah kubayangkan untuk menjadi kenyataan.

“Apa yang berubah dariku? Apa !” Kataku mulai meracau.

“Semua ini supaya orang tuamu dapat menerimaku semua ini demi kita !” Sambungku.

“Kita ! apanya yang kita yang kau pikirkan hanya tentang dirimu! Tak pernah ada kata kita dalam cerita ini !” Balasmu yang membuat jantungku serasa berhenti berdetak

“Aku?” Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutku

“Ya ini semua salah mu ini semua karena mu! Yang kau pikirkan hanyalah cara untuk merubah pandangan orang tuaku padamu sadarkah ada yang berubah dari sifatmu?” Katamu bersamaan dengan keluarnya air mata yang semakin deras.

“Aku rindu dirimu yang dulu, yang penuh kasih sayang padaku, yang selalu memiliki waktu untukku tapi kini semua telah berubah ! pernahkah kamu memikirkan diriku selama ini?” Sambungmu

“Maukah kamu memberiku kesempatan satu kali lagi agar dapat menunjukkan bahwa aku dapat menebus semua kesalahanku padamu?” Pintaku dari hati yang terdalam

“Tidak kurasa inilah akhir dari cerita kita” Tolakmu seraya berlari, ya berlari hingga batas cakrawala, berlari hingga tak dapat ku jangkau lagi.
         
          Apa kesalahanku? Hanya itu yang selalu terngiang dalam batinku, mungkin inilah perasaan yang dirasakan oleh penulis lagu Leaving On The Jetplane. Semua hasil kerja kerasku terasa sia-sia belaka musnah sirna sudah apa yang menjadi keinginan dan impianku selama ini. Dengan langkah gontai ku masuki bilik pesawat sesuai yang tertera dalam tiketku. Telah ku coba berbagai cara untuk melupakanmu namun hasilnya selalu nihil, Nol besar ! Ya, itulah diriku kini seorang pria yang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta. Cinta? Apa itu cinta, apakah cinta adalah perasaan yang didapatkan setelah aku memiliki uang? Aku tak tahu kemana harus berjalan. Tak terasa aku menangis dalam tidurku dan tiba-tiba terdengar suara peringatan dari pengeras suara di dalam pesawat.

“Sudah jangan berisik ! Biarkan aku sendiri bila pesawat ini memang di takdirkan untuk jatuh biarkan saja aku sudah tak peduli pada semuanya !” Pikirku dalam kekalutan hatiku.

Pesawat jatuh ya jatuh menuju dalamnya air yang dingin sedingin hatiku kini.

            Tiba-tiba jam wekerku berbunyi, “Sialan mimpi apa aku tadi?” gumamku dalam keadaan yang setengah terjaga. Aku hanya berharap hari ini berjalan seperti biasa tidak ada suatu kejutan. Dari pagi hingga siang semuanya biasa saja aku masih berharap semoga sore sewaktu ekstrakurikuler tidak ada yang berbeda. Namun, semua yang kupikirkan di pagi hari berubah ketika ku lihat dirimu tersenyum padaku disaat senja datang.

“Kenapa’e kok senyum-senyum, ada yang aneh ya?” Kataku

“Ah, enggak cuma aku suka sama kamu saat kamu berlatih sungguh-sungguh” Balasmu dengan senyummu yang seindah mentari yang mencoba menghalau gelap disaat fajar.

“Bener nih nggak ada yang aneh?” Tanyaku lagi

“Iya” Katamu

“Aku juga suka” Kataku memancing tanggapan darimu

“Pasti suka senyumku ya? Udah basi tahu” Katamu sambil tersenyum kecil

“Nggak aku suka saat dirimu saat manyun hehehehehe” Candaku

“Ih kok gitu sih” Balasmu sambil menampilkan ekspresi manyunmu yang membuatku terpesona

“Tuh kan kalo manyun lebih lucu” Tambahku

“Kamu tu bisa aja”  Katamu.

“Mau bareng nggak pulangnya udah malem loh ntar di cariin susternya?” Godaku

“Eh, kayaknya nggak usah deh kan aku barengan sama temanku tadi ke sininya” Balasmu yang membuatku merasa seperti orang bodoh karena di mabuk cinta.

“Ya udah besok berangkat latihan lagi ya?” Tanyaku

“Iya” Jawabmu dan mengakhiri pembicaraan kita


Ah, aku ingin hari-hari yang indah seperti ini selalu terjadi dan tak pernah berhenti sambari memanaskan mesin motorku dan bersiap meninggalkan sekolah untuk menuju rumahku.

Batas antara Khayal dan Realita

Tak pernah sekejap pun aku memikirkan kata berpisah, tak pernah terbersit dibenakku untuk mencoba pergi menjauh dari dirimu. Kesetiaan, kata yang mudah terucap namun sulit untuk direalisasikan. Kesetiaan hanya itu yang aku butuhkan darimu tidak lebih dari itu. Namun kenapa kini semua itu hanya seperti bunga mimpi bagiku? Kenapa kini engkau menjauh? Macau- Indonesia batas nyata antara cinta dan derita. Masihkah engkau mencintaiku di sana sementara di sini aku masih mencoba bertahan di kerapuhan jiwaku. 

" Janji ya kamu nggak akan nakal disana?" kataku saat menjelang perpisahan kita.

"Iya aku janji" katamu saat mengucapkan kata berpisah untukku.

Namun, kini ku rasa janji tinggalah janji tak bisa menjadi suatu bukti valid yang menjanjikan bagiku.

Seminggu sudah berlalu dari perpisahan kita, aku dan kamu masih bisa berkomunikasi, merajut cinta di benua yang berbeda. "Aku yakin semua ini bisa berjalan lancar dan aku pasti masih bisa menantimu walau 1000 tahun lagi" kataku di telepon. "Ih, kamu gombal deh" katamu dengan nada yang kurasa manja. "Tapi, kamu senang kan kalo dapat gombalan dari aku?" kataku membalas ucapan yang aku tahu itu keluar dari hatimu. "iya hehehehe" balasmu.
Semua kurasa sama tak ada yang berubah hari-hari yang dulu sebelumnya pernah kelabu sebelum menjalin hubungan denganmu kini kurasa seakan bulan pun ingin menari bersamaku. 

Semua terjadi seperti mimpi indah yang tak ingin untuk diakhiri dan bangun untuk menyambut realita pahit ketika aku dan kau sudah tidak sejalan. Namun apa yang selalu menjadi asumsiku dalam hubungan ini akhirnya terjadi, aku dan kamu miss komunikasi selama sebulan dan akhirnya kau berkata padaku "Maaf sepertinya hubungan kita harus berakhir sampai disini" katamu. Kata yang paling tidak ku inginkan untuk keluar dari bibir manismu. "Mengapa? Apa ada orang lain?" Lanjutku. " Tidak, hanya saja kurasa kita memang harus mengakhirinya" sambungmu sambil terdengar nada dari suaramu yang seakan menahan diri untuk tidak menangis. " Kumohon janganlah menangis cukup aku saja yang harus menanggung semua siksa batin ini" ingin aku berteriak padamu namun hanya ada suara telepon yang tertutup di ujung sana.

Hahahaha inginku menangis bila aku mengingat hari-hariku bersamamu. Hari dimana aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya hari dimana aku sempat merasakan secuil indahnya Surga hari dimana tawa, canda, dan bahagia bersamamu selalu mengisi kesepian hatiku. Hari-hari kurasakan seindah cerita cinta di dalam novel remaja yang selalu berakhir bahagia.

Namun, kini cerita cinta yang berakhir bahagia hanya ada di novel dan cerita-cerita yang di buku. Kini ku rasa dunia seakan-akan perlahan meredup, dunia kehilangan cahayanya seperti aku yang kehilangan kamu penuntun dan pendamping hatiku. Bulan yang selalu bersinar menemani diriku saat berbicara renganmu namun kini bulan pun tak ingin menunjukkan senyumnya padaku! Habis sudah semua tangisan ini untukmu, habis semua kata cinta yang dulu pernah terucap hancur dan luluh semua perasaan ini bagaikan pasir yang tersapu oleh kesombongan angin yang berhembus sesuka hatinya. Ingin aku berseru " Apakah kau memikirkan hancurnya perasaanku ? Runtuhnya dinding yang bernama cinta? Atau apakah kau pernah sedikit saja memikirkan bagaimana kondisi ku sekarang setelah kau tinggalkan pada saat aku masih ingin melanjutkan cinta ini walaupun terbentur oleh jarak yang tak pernah bisa kita sangkal yang perlahan mencoba untuk menghapuskan cinta antara dirimu dan diriku. Dan akhirnya kini hanya aku sendiri meratapi kisah indah yang pernah terjadi dalam hidupku yang berakhir tak seindah awalnya.

Monday, September 23, 2013

Masih Adakah Rembulan Untukku Malam ini?

            
          Seperti biasa, hari ini aku bangun lagi dalam kesendirianku. "Kehidupan di masa-masa SMA itu penuh dengan warna" itu kata mereka. "Penuh dengan warna apanya?" pikirku. Dan kembali menjalani aktivitas monoton seperti biasanya mempersiapkan diri lalu berangkat menggunakan motor menuju ke Sekolah (lagi). Di sekolah tidak ada yang baru bagiku "Apa yang indah dari melihat peristiwa melodrama yang selalu terulang kembali?". Tapi saat yang selalu kuinginkan tiba-tiba datang dalam hidupku yang selalu kelabu. Walaupun hanya sekilas aku melihatnya tapi sudah serasa hati ini ingin memilikinya. Mungkin ini cinta yang memaksa atau cinta yang saling meminta. Bagi sebagian orang cinta memiliki definisi yang berbeda beda tapi bagiku cinta itu adalah kamu.

        Hari telah berganti ku coba untuk memberanikan diri untuk mencoba mendekatimu dan meminta nomor teleponmu. PHP hanya itu yang kutakutkan dari awal kita bertemu aku takut kejadian itu terulang lagi kejadian dimana aku harus menangis atas kebodohanku. Semua ini hanya persepsi, hanya opini tak ada batas antara realita dan khayalan semu. 

"Dan apa yang akan aku perbuat setelah mendapatkan urutan angka abstrak yang tak berarti itu?" pikiran dalam gumamku

"Sudah, tidak usah dilanjutkan saja biarkan saja ini berhenti sebelum dimulai kau kan sudah tahu hasilnya." sambungnya

Aku kembali berpikir

"Tapi, lebih sakit jika kamu hanya memendam perasaanmu dan membiarkannya membusuk di dalam dirimu" 

         Semua pikiran tentang dirinya dan perasaan suka padanya berkecamuk dalam diriku bagaikan sebuah bom nuklir yang menunggu untuk diledakan. Yah, tapi pada akhirnya tetap ku beranikan diriku untuk mencoba menghubunginya dan berharap agar rembulan ada bersamanya saat aku menghubunginya dengan harapan agar aku dapat merasakan hal yang sama dengannya.

Sunday, September 22, 2013

Sepenggal Cinta di ujung Senja

Sepuluh hari telah berlalu setelah kepergianmu. Masih teringat hari dimana pertama kali kita bertemu di angkringan kecil di pinggir jalan kaliurang. Ditemani cahaya dari lampu pinggir jalan dan bintang-bintang yang bersinar di angkasa serasa itu semua sudah ditakdirkan untuk terjadi. 
Masih terkenang dalam ingatanku saat kita bersama serasa waktu dengan cepatnya berlalu. Kita bersama, kita tertawa, kita membicarakan tentang masa depan yang akan selalu abstrak bagiku. Tetapi semua berbeda sekarang, tiada tempat bagiku untuk berkeluh kesah. 

"Sudah, buang saja semua kata-kata cinta itu, masukkan ke dalam peti kemas lalu kirimkanlah ke neraka" pikirku

Teman-temanku berkata  "Kamu harus mencoba move on"

"Anjing, apa kalian bisa merasakan dan berada di posisi yang saat ini kurasakan?" pikirku.

Detik demi detik berlalu hari demi hari berganti namun tiada sedetik pun  pikiran ini terlepas darimu. Telah kucoba seribu cara untuk melupakanmu namun semua itu tak pernah berhasil.  Cinta? cinta yang mana lagi yang ku cari? Separuh hatiku ini telah ku berikan kepadamu namun apa mau dikata kini hanya serpihan sesal yang ada padaku, kau tinggalkan aku di saat aku masih terlalu membutuhkanmu disisiku sebagai pendamping bagiku untuk melangkah, kemanakah aku harus berjalan ketika tujuanku sudah tak ada lagi? Kemanakah aku harus melangkah ketika cahaya hatiku kembali redup?

Pertanyaan dan pertanyaan selalu datang kepadaku bertubi-tubi bak di berondong oleh senapan artileri. Sakit hati ini tak pernah kau rasakan remuk redamnya perasaanku sudah tak bisa ku lukiskan lagi. Bagimu langit selalu biru bagiku pun begitu namun semua telah berubah langit tak sebiru biasanya, bulan selalu menjadi satu-satunya temanku untuk berkeluh kesah. Laki-laki itu tak pernah menangis bagiku itu hanya sebuah lagu, ya hanya lagu yang digunakan untuk mengubur kesedihan hati hanya sebatas itu.

Kini aku kembali melangkah di jalan yang sama dimana aku menemukan cinta yang kupikir itulah yang dinamakan cinta sejati. "Tapi apakah akan kutemukan cerita yang sama di jalan ini?" kataku seraya memandang matahari yang perlahan tenggelam menyisakan pendar berkilauan di angkasa.