Pagi
itu seperti biasanya, perempuan itu duduk di bangku yang terletak di sebelah
peron itu. Seakan-akan menanti seorang kekasih yang entah kapan akan kembali.
Aku hanya bisa termenung dan memandang ke arahnya tanpa berani menyapa dirinya
"Mas, ada espresso tidak?" tanya
seorang bapak tengah baya dengan sopan yang mengembalikanku ke realita.
"Wah, maaf pak kedai ini baru mau di
buka" jawabku
"Oh, ya sudah" kata pria itu
sambil berlalu
Sudah kebiasaanku untuk menghabiskan pagi ku di stasiun itu, karena aku harus
membuka kedai kecil yang lusuh ini. Perempuan itu selalu duduk di tempat yang
sama setiap pagi dan orang berlalu lalang sambil menyapanya dan ia hanya bisa
tersenyum untuk membalas sapa tiap orang. Pagi berganti menjadi siang dan kedai
ini telah penuh sesak oleh banyak pelanggan yang selalu berdatangan untuk
membeli segelas penyegar untuk dahaga mereka.
Tiba-tiba terdengar suara lonceng tanda ada pelanggan baru yang datang,
"Selamat datang" sapaku ramah seraya menyerahkan daftar menu kepada
pelanggan dan memberi kode untuk salah satu rekan kerjaku untuk mencatat apa
yang diinginkan oleh pelanggan yang ku tinggalkan itu. Dia mulai melangkah maju
dan tak ku sangka bahwa pelanggan baru itu adalah perempuan yang biasa duduk di
pojokan peron stasiun. "Mau pesan apa?" tanyaku seraya menunjukkan
daftar menu yang baru saja ku ambil dari konter.
Dia tidak
menjawab hanya menunjuk salah satu menu yang ada dan aku kembali menanyakan
apakah ada tambahan lain dia hanya menggelengkan kepala. Setelah aku memberikan
menu yang telah dipesan kepada barista yang telah siap sedia di samping
mesin kopi, aku beranjak dan siap untuk menerima pesanan namun aku merasa
seakan-akan aku pernah mengalami situasi seperti ini dan benar saja ketika aku
melihat ke arah perempuan itu aku melihat dia duduk di tempat dimana aku
menemukan cinta pertama ku.
Rasanya baru
kemarin saja aku bertemu dengan cinta pertamaku, walau sebenarnya peristiwa itu
sudah lama terjadi. Perempuan itu sangat mirip dengan cinta pertamaku,
rambutnya bahkan harum tubuhnya membangkitkan memori yang bahkan hampir
memfosil di dalam benakku.
Masih ku ingat
hari itu, hujan turun dengan perlahan dan mentari masih urung menunjukkan
senyumnya. Aku hanya diam dipinggir konter sembari membaca novel yang tidak ku
baca dengan sungguh-sungguh karena aku hanya ingin mengusir kesepian yang
datang bersama dengan hujan yang mengguyur. Jam menunjukkan angka delapan,
seharusnya kedai ini semakin ramai namun kenyataannya sedari tadi pagi jumlah
pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari tangan. Para pegawai pun mulai
meninggalkan kedai ini karena ku pikir tak akan ada pelanggan lagi untuk hari
ini. Tanpa ku sadari pintu kedai terbuka, ku pikir hanya angin malam yang secara
tidak sengaja membuka pintu tersebut namun ternyata yang membuka pintu itu
adalah seorang pelanggan yang parasnya amatlah cantik. "Maaf mbak, tapi
kedai ini baru saja akan tutup" namun kataku itu hanya ku pendam dalam
hati setelah ku cermati dengan seksama bahwa perempuan itu basah karena hujan
yang mengguyurnya dengan kejamnya.
"Mau pesan apa mbak?" tawarku
sekalipun tinggal kami berdua yang ada di kedai itu tanpa adanya pegawai lain
yang biasa meracik kopi.
"Ada latte nggak mas?" tanyanya.
"Ada, tunggu sebentar ya mbak"
jawabku sembari tersenyum padanya dan mencoba membuat latte pertamaku.
Sesampainya di tempat meracik kopi aku binggung setengah mati
karena yang biasanya mercaik kopi atau biasa disebut barista sudah pulang namun ada satu yang
ku ingat dari perkataanya ketika aku bertanya padanya tentang bagaimana meracik
kopi dengan komposisi yang pas dia hanya menjawab bahwa cara membuat racikan
yang pas adalah dengan cinta.
"Mampus deh, cinta? Tapi masa hanya
dengan cinta dapat membuat komposisi yang nikmat bagi pencicipnya?" Aku
mulai ragu dengan diriku sendiri.
"Mas, itu yang di depan siapa ya?
Pelanggan bukan?" kata barista yang
ternyata belum pulang dan mengagetkan ku setengah mati.
"Iya mas, yakin hanya dengan cinta
dapat membuat racikan yang pas?" tanyaku.
"Yakin aja mas" jawabnya sambil
tersenyum.
Setelah
selesai menyiapkan bahan, meracik bahan, dan latte pertamaku siap untuk
disajikan aku langsung membawanya di atas nampan. Dengan hati-hati dan perlahan
aku berjalan menuju tempat pelanggan sekaligus cinta pertamaku, suasana malam
yang mulai terasa dingin dan bulan yang perlahan mulai memancarkan sinarnya
menemani kita berdua.
"Ini mbak lattenya, mbaknya keberatan
tidak saya duduk di sebelah mbak?" tanyaku
"Nggak" jawabnya sekaligus
tersenyum yang menambah romantisme malam itu
Tiba-tiba barista lewat meninggalkan
aku dan dirinya sambil mengacungkan jari jempolnya padaku dan ku sadari bahwa
cinta pertama ku juga melihat kejadian itu tertawa kecil seakan menganggap
kejadian itu lucu baginya.
"Lattenya enak nggak?" tanyaku
mengawali percakapan itu
"Lumayan mas" jawabnya
"Lumayan gimana mbak? lumayan buruk
ya hehehehe?" candaku
"Nggak mas?" katanya sambil
tersenyum
Aku dan dia
menghabiskan malam itu dengan canda dan tawa menghangatkan suasana malam yang
melenakan kita berdua. Hari demi hari berlalu cinta pertamaku selalu datang
berkunjung entah hanya menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang denganku
maupun bercanda ria dengan diriku. Pada akhirnya aku mengungkapkan perasaan
yang sebenarnya sudah ada padaku sejak awal kita bertemu. Awalnya dia tidak
menjawabnya dan mencoba mengalihkan topik yang ku anggap bahwa dia menolak rasa
yang telah ku ungkapkan. Yah, namun semua itu hanya asumsi dariku karena
perlahan-lahan dia mulai jarang mengunjungi kedai kecil ini.
Tiba-tiba
datanglah sepucuk surat dan setangkai bunga mawar yang entah dari siapa. Ku
baca surat itu dengan perlahan dan tak terasa bahwa air mata ini mulai
mengalir.
"Maaf, bukan maksud hatiku untuk
menolak maupun mengabaikan perasaan yang kau berikan padaku namun satu hal yang
perlu kau tahu bahwa sulit bagiku untuk membuka hatiku lagi setelah peristiwa
kelam yang pernah aku alami sebelumnya dan menikmati waktu-waktu yang ku habiskan
denganmu semua itu sangat berharga bagiku dan perasaan ini layaknya bunga mawar
yang dapat mekar dengan indahnya namun duri yang ia miliki dapat dengan tajam
menusuk diriku" begitulah sepenggal isi dari surat itu.
Semua itu
terasa memberatkan bagi hatiku, namun apapun yang terjadi dunia masih akan
terus berputar dan aku tidak bisa selalu terkungkung dalam satu titik sekalipun
itu adalah titik dimana aku mengalami depresi terbesar yang pernah ku alami.
Dugaanku tak
pernah salah walaupun ku pikir itu hanya perasaanku saja. Namun, harus berapa
lama lagi aku menunggu? Harus berapa banyak lagi air mata yang harus terus
menetes? Pada akhirnya aku melihat lagi sosok yang sama seperti yang dulu
pernah mengisi hari-hariku tapi apakah cerita itu akan kembali terulang?
Mampukah aku membuka pintu hati yang telah lama tersegel?
"Mas, mas cappuccino nya sudah
siap" kata barista sambil
menepuk pundakku
"O yaudah mas, ini pesanannya siapa
ya?" tanyaku kepada barista itu
"Mikirin yang dulu lagi ya mas? menurutmu
ini apa mas?" balas barista itu seraya mendekatkan cappuccino
ke arahku
Aroma hangat
yang bercampur dengan susu yang sangat manis, mengembalikan fokusku yang sempat
buyar karena melihat perempuan itu. Setelah memindahkan cappuccino dari tangan
sang barista ke
nampan yang sudah ku persiapkan, aku menuju ke tempat dimana perempuan itu
duduk. Ku pandangi wajahnya yang mengarah ke luar jendela memperhatikan hujan
yang turun dengan perlahan bersamaan dengan air matanya yang juga mengalir
dengan perlahan. "Mbak ini cappuccino nya" kataku dengan sopan
seolah-olah tidak melihat peristiwa singkat itu. Ia mulai menyeka bulir-bulir
air mata yang menghiasi pipinya dan tersenyum kepadaku seakan-akan menunjukkan
secercah sinar diantara kegalauan yang ia alami. "Ada apa mbak?"
tanyaku karena rasa ingin tahu yang timbul secara tiba-tiba. Ia hanya
menggelengkan kepala yang menandakan dia baik-baik saja namun sorot matanya
mengatakan ada hal lain.
Sebenarnya aku tidak
ingin mengganggu hidupnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang ku unggap mengusik
kehidupan pribadinya, namun lagi-lagi rasa ingin tahu ku lebih besar dari rasa
malu ku untuk menanyakan hal itu. Ia memulai membuka mulutnya ku kira ia hendak
berbicara namun ternyata ia langsung menutup mulutnya dengan tangannya. Ia
mulai membuka tas yang sedari tadi ia bawa dan mengeluarkan sebuah catatan
kecil dan alat tulis dan menuliskan kata "Hai, siapa namamu" dan
memberikan catatan nya kepada ku "Kevin, kamu ?" tulisku seraya
mengembalikkan catatan kecil itu padanya “Mika”. Aku dan dia menghabiskan senja
di temani dengan para pelanggan yang berlalu lalang dan perlahan di ikuti oleh
para pegawai menyisakan aku dan dia yang bercanda tawa di temani oleh
berlembar-lembar catatan yang penuh terisi dengan coretan-coretan yang tersusun
sedemikian rupa yang menyampaikan perasaan yang ada di dalam diriku dan dirinya
dan kita menyampaikannya lewat lembaran-lembaran kertas.
Ada sebuah
perasaan yang sempat mengganjal dalam batinku dan pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang
di dalam otak ku namun semua itu hanya ku pendam tanpa berani mengungkapkannya
karena ku rasa hal itu akan mengusik dirinya dan membuatnya menjauh dariku.
Hari mulai berganti, tiap pagi ia mulai menyapa ku dengan caranya yang unik
yaitu menepuk pundak ku dan tersenyum kepadaku seakan-akan kita telah
berkenalan sejak lama. Ia mulai rajin mengunjungi kedai ku dan berhenti
meninggalkan kebiasaan lamanya yaitu berdiam diri sembari duduk di bangku di
pinggir peron itu. Sebenarnya aku cukup senang dia sering mengunjungi kedai
kecil ini sekalipun ia tak memesan apapun dari daftar menu. Tapi ada satu hal
yang aku takutkan bahwa tragedi yang pernah terjadi dalam hidupku akan terulang
kembali.
Namun pagi itu
tidak seperti biasanya, dia tidak datang ke kedai ini bahkan semenjak pagi tadi
tak ku lihat dirinya ada di stasiun ini. "Adakah sesuatu terjadi
padanya?" pikirku sembari mulai membuka kedai kecil ini dan membalik tanda
tutup menjadi buka. Walapun hujan namun akhir-akhir ini kedai tidak pernah sepi
oleh pengunjung karena adanya menu baru yang cukup menarik bagi mereka.
Sepanjang hari itu hujan turun dengan derasnya seakan-akan hendak mengulang
peristiwa yang pernah terjadi, senja kembali turun dan kabut kembali datang
dengan perlahan dan pengumuman keberangkatan dan kedatangan sudah berhenti
berkumandang.
Petugas yang
berkerja di stasiun, biasanya datang ke kedai ini pun sudah tidak ada yang
datang lagi dan jumlah pelanggan mulai berkurang lagi malam itu pertanda bahwa
kedai sudah harus ditutup. Hujan telah reda meninggalkan suasana malam mulai
terasa dengan hawa dingin yang menusuk tulang, bulan pun seakan-akan tidak
ingin menampilkan senyumnya. Seakan-akan hanya aku sendiri di semesta yang luas
ini, tanpa adanya seorang pun yang menemaniku menghalau kesepian yang secara
tiba-tiba menyerang seluruh persendian ku. Aku berharap dia hadir menemani
diriku entah hanya sekedar melepas penat dengan menuliskan segala suatu yang ku
rasakan pada dirinya melalui kertas-kertas yang ada dalam catatan kecilnya. Tak
ku duga apa yang ku harapkan menjadi sebuah kenyataan dia datang namun ada
sebuah kejanggalan yang aku rasakan, biasanya ia selalu membawa tas namun kali
ini ia tidak membawanya dan menimbulkan sebuah pertanyaan besar pada diriku
“Mengapa, ia tidak membawanya? Apakah ada sebuah alasan di balik tingkah
lakunya yang janggal akhir-akhir ini?”
“Uhm, aku ingin mengatakan sesuatu
kepadamu” katanya memulai percakapan, aku dulu sempat berpikir bahwa Mika
memiliki sebuah alasan di balik kebungkaman dirinya.
“Eh, ada apa ya mik?” tanyaku setengah
takjub tak percaya akhirnya Mika berbicara padaku
“Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ku
bicarakan kepada mu sejak dari dulu” katanya
“Tentang apa ya?” tanyaku menanyakan
tujuan dari kedatangannya yang mengejutkan diriku