Tuesday, October 21, 2014

Ai, nihongo, soshite kanojo (Highschool of Delusion part 2)

     Dulu ia pernah tinggal di Indonesia, lebih tepatnya keluarganya mengontrak di rumah yang ada di depan rumahku. Seorang gadis yang aneh dan asing tiba-tiba masuk ke kompleks perumahan ku seperti bom yang mengacaukan stabilitas komunitas kecil yang hidup tentram di wilayah terpencil (Tapi bukan pedalaman sih). Bagi para orang dewasa hal ini disambut baik, begitu pula dengan para kaum-kaum lainnya(dari anak muda sampai anak-anak). Tapi tidak denganku.

“Dik!” teriak kakakku dari lantai bawah

“Apa!” teriakku dari atas yang lagi asyik-asyiknya membaca light novel di kamarku
“Cepet turun!” lanjutnya

“Nggak mau, kakak aja yang ke atas!” seruku pada kakak perempuanku itu

“Kalau nggak turun, nggak kakak buatin es spesial!” paksanya

“Kampret, kenapa kakak yang satu ini pandai memaksa?” pikirku sambil menuruni anak tangga satu per satu sambil masih membaca light novel yang sengaja ku corat-coreti untuk mentranskripsikan tulisan kanji ke dalam bahasa Indonesia

     Sebenarnya aku malas tapi mau gimana lagi, udah hawanya panas dan kakak nawarin mau buatin es walaupun agak maksa. Sesampainya di lantai bawah, aku kebingungan karena ada kue dan beberapa gelas es yang diletakkan di atas meja makan.

“Kesempatan nih hehehehe” pikirku sambil mengecek situasi dan aku yakin tidak ada seorang pun di rumah

“Hiiiiat!” teriak kakakku yang entah darimana tiba-tiba saja muncul dan mengeluarkan jurus karate yang targetnya tidak lain tidak bukan adalah kepalaku

     Aku bermanuver dan member serangan balasan ke arah perutnya yang tidak dilindung. Ia berhasil mengelak dan menangkap tanganku tapi aku menyeruduk  perutnya (maklum refleks) dan tak memikirkan resiko bahwa bisa saja ia melepaskan tanganku lalu menggunakan kedua tangannya untuk membelah kepalaku semudah ia membelah semangka. Kakak terjatuh dan mulai menangis.

“Hiks, dedek kejam! Beraninya sama cewek!” serunya

“Kak Shinta sih…” belum sempat aku menyelesaikan kata-kata ku

“Double slap!!!” serunya mengeluarkan jurus tamparan bertubi-tubi

“Ampun kak, ampun!” seruku

“Tiada ampun  bagi mu *grin*” lanjut kak Shinta

     Sekitar 15 menit setelah kegilaan ini esnya mencair dan kak Shinta menyalahkan ku atas hal ini. Aku bingung sebenarnya ini salah siapa? Harusnya kan kak Shinta yang salah, bukan salahku. Dan dengan terpaksa aku harus membuat ulang es special yang aku nggak tahu cara buatnya dan kak Shinta nggak mau ngasih tahu caranya. Saat aku membuka lemari es, ternyata es nya abis! Suara lolongan anjing makin seru, ada tawa cekikikan dari seorang wanita, dan baying-bayang hitam berlarian. Oke, aku coba menegarkan diriku dan keadaan ini nggak seburuk dipaksa pacaran sama kuntilanak gila di kuburan pas malem Jum’at kliwon.

“Nyil!” teriakku memanggil adikku yang nomor satu (btw nyil itu panggilan sehari-hari)

“Kunyil satu siap!” kata Alex sambil memposisikan tanggannya untuk hormat

“Kunyil dua mana?” tanyaku

“Lagi balapan sepeda sama temen-temennya!”jawabnya

“Anak perempuan umur empat tahun balapan sepeda? Kalau udah gede entar balapan apa? Balapan pesawat?” pikirku

“Yaudah, sono beli es di warung Mas Jono” perintahku

“Tidak bisa komandan, masih ada misi yang harus saya selesaikan!” tolaknya sambil berlari keluar

     Aku mengambil sandal tidur yang tergeletak di dapur (punya Kak Shinta) dan membidik kepalanya. Lemparan dengan akurasi mendekati sempurna membuat lemparan itu kena tepat di kepalanya, dan ia membalas dengan melempar sepatu boot ayah yang berada di garasi dekat tempat sepedanya terparkir. Aku berhasil mengelak tapi lemparan tersebut mengenai satu piring yang malang dan piring tersebut pecah.

“Leon!” seru Kak Shinta

“Iya, iya!” ujarku

     Dengan terpaksa aku menggunakan es dari bekas eksperimen minuman bersoda yang aku awetkan semalam di freezer (mungkin esnya menjadi agak nyentrik rasanya). Seusai mengiris buah-buahan dan diberi campuran susu dan diblender, akhirnya e situ jadi (aku namain es amburadul karena kalau susu dicampur soda akan jadi susu suda tapi kalo smoothie campur soda nggak tahu gimana rasanya).

“Permisi” kataku sambil memencet belnya (jangan tanya aku mencet pake apaan) yang posisinya sejajar dengan muka ku

“Chotto matte” sebuah suara muncul dari dalam rumah

“Oh, Jepun ya?” pikirku


*cklek* pintu itu terbuka dan……

“Ano……” kata perempuan yang sebaya denganku

“Dafuq, cewek Jepang?” pikirku

“Eto……” lanjutnya masih mencoba mencari fokus karena pandangannya naik turun dari ku ke arah lantai

“Emang, di lantai ada apa?” aku pun menatap lantai mencari sesuatu yang aneh

     Ia pun masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintu, kampret. Nah sekarang aku harus gimana? Apa aku pulang aja ya? Tepat sebelum aku beranjak dari teras, pintu terbuka lagi dan ternyata yang membukakan pintu tersebut adalah seorang perempuan yang lebih dewasa dari yang sebelumnya.

“Mungkin ini kakaknya” pikirku

“Konnichiwa, hajimemashite watashi wa Leon desu” kataku seraya membungkuk kan badan

     Untungnya nampan dan apa yang ada di atasnya telah aku letakkan di meja yang ada di teras. Jika aku tidak menaruhnya, bisa dibayangkan seberapa parah kekacauan yang aku perbuat di teras depan keluarga itu.

“Konnichiwa, watashi wa Akicha desu” balas perempuan itu

“Akicha-san bisa bahasa Indonesia?” tanyaku dengan polosnya

“Sss..Sedikit” jawabnya dan tertunduk malu

     Tiba-tiba aku tak kuat untuk menahan tawa dan kami pun tertawa, menertawakan hal yang tak kami ketahui. Setelah kami selesai tertawa, kami membawa semua makanan dan minuman yang aku bawa dari rumah (semacam sarana ramah tamah mungkin?).

     Baru beberapa langkah dari pintu masuk, rasa penasaranku muncul karena aku melihat lagi perempuan yang ku jumpai sebelum Akicha dan aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Tapi sebelum hal itu terjadi, aku harus mengenal siapa nama dari perempuan itu. Aku dan Akicha menaruh hidangan dan minuman yang kami bawa ke atas meja ruang tamu, dan aku pun dipersilahkan untuk duduk.

Akicha-san soko ni suwatte iru josei wa daredesu ka?” tanya ku

"Ā, sore Rena-chan" jelasnya

"Oh, jadi yang tadi ku temui itu Rena" pikirku

     Aku tersenyum ke arahnya dan ia hanya bisa tersipu malu (atau mungkin ini hanya perasaan ku saja?). Hujan mendadak turun dengan derasnya dan sialnya aku lupa untuk membawa payung, dengan terpaksa ku putuskan untuk menetap dan menunggu hujan untuk berhenti. Handphone ku berdering tanda aku harus kembali ke rumah.

"Uhmm, Leon-kun anata wa ie ni kaeritai? tawar Rena dengan malu-malu

     Tanpa banyak bicara, aku langsung mengiyakan tawaran Rena-chan dan ia mengantarku untuk pulang ke rumah (walau sebenarnya jarak rumah ku dengan rumahnya tidak terlalu jauh). Hujan yang lumayan deras di sore ini membawa suasana syahdu namun petir yang menyambar tetap saja menyebalkan.

"Rena-chan takut petir nggak?" tanya ku yang mengasumsikan bahwa Rena mengerti apa yang ku bicarakan

     Ia menggelengkan kepala tanda bahwa ia tidak takut namun dengan ekspresi muka yang membuatku ingin mencubit pipinya yang terlalu kawaii.

*blar*

     Tiba-tiba kilat membelah langit dan petir tercipta, pada saat aku menoleh ke arah Rena.... Ia hampir menangis.

"Rena-chan kanojo ni naranakute mo ii yo?" (ku pikir ini artinya apa kamu baik-baik saja padahal terjemahan kasarnya: nggak jadi pacarku juga ga papa kok) ku katakan untuk menanyakan keadaannya

"Rena-chan wa daijōbu janai nanika?" <-- Ini yang harusnya ku katakan

"Eh, nani?" katanya sambil menutup telinganya dengan sebelah tangannya

"Eto..." aku agak mikir

     Setelah agak lama aku menyadari kesalahan ku ia pun menoleh ke arahku dan memandang mataku, aku pun juga melakukan hal yang sama sampai...... sebuah mobil melintas dan mencipratkan air yang ada di kubangan ke Rena-chan.

"Udah, ntar ganti aja di rumahku" tawarku padanya

Dan ia pun menganggguk.


NB: Gomen, jika tulisan Jepangnya nggak terlalu baik. Mohon dimaklumi dan bantu untuk memberikan komentar agar saya bisa lebih memperbaikinya.

Monday, October 13, 2014

Kenapa Dia Kembali? (Highschool of Delusion part 1)

     Apalah arti perjumpaan tanpa adanya perpisahan? Seberapa berharganya sebuah cinta tanpa adanya pengorbanan dan perjuangan? Sebuah frasa klise yang sering tertulis pada roman-roman percintaan. Hal ini mengingatkanku pada beberapa hal yang sudah berlalu dan selalu ku sesali.  Aku membaca sebuah karangan cerita tentang cinta yang tak pernah aku pahami dan aku asala membolak-balikan halamannya saja sekedar untuk membunuh waktu.

“Hayo Leon , galau lagi ya?” sergah kawanku Duta yang masuk ke perpustakaan tanpa aku sadari

“Alah, pasti galau karena si itu ya?” tambah Julio

“Ah nggak aku cuma baca buku ini, menurutku menarik karena ada teori percintaan menurut Selo Sumardjan” ujarku menutup-tutupi kegundahan ku itu

“Sejak kapan Selo Sumardjan jadi ahli percintaan?” pikirku tapi hanya kalimat itu yang terlintas di benakku

“Eh, gebetan……” celetukku

“Uhmm maksudku pacarmu gimana jul, masih yang itu apa udah ganti?” kataku

“Oh iya, udah ganti lagi belom?” sambung Duta

“Ah kalian ini bisa saja” jawab Julio dan kami pun mulai tertawa

     Pagi ini, Sabtu tanggal 14 Februari tahun 2015 suasana masih terasa panas walaupun aku bernaung di perpustakaan yang full AC. 10 menit berlalu dan kami masih berada di perpustakaan membicarakan permasalahan-permasalahan yang kami alami akhir-akhir ini, mulai dari skrip film yang tak usai-usai hingga kejadian di mana Duta dan Julio yang dipandang sebagai dua orang homo pada saat mereka membeli minum kemarin siang (sumpah ini bikin aku geli sendiri).

“Woooyo man, ada kabar panas man” kata Sojo seorang teman yang suka reggae dan ska yang juga menjadi teman satu kelas denganku dari kelas X (sumpah ini berasa kutukan sekaligus keajaiban karena Sojo anaknya humoris)

“Ono opo jo? Ora gawe-gawe lho!(Ada apa jo? Jangan bilang hal yang tidak-tidak lho!)” kata ku agak terkejut hingga logat jawa ku keluar

“Ada cewek jepun” kata Sojo

“Are you kidding me” pikir ku, Julio, dan Duta yang saling berpandangan dengan wajah yang penasaran lalu kami pun berlari untuk menuju ke kelas

     Teriknya sengatan matahari tak menghalangi langkah kami untuk sampai di kelas. Tapi aku mempunyai firasat yang agak aneh karena pagi ini aku mendapat sebuah pesan singkat namun tulisan yang ada dalam pesan tersebut menggunakkan logat Jepang, kanji kalau tidak salah. Pertamanya aku merasa terkejut karena nomor yang mengirim pesan itu tidak ada dalam kontak ku  dan  ku pikir itu hanya salah sambung saja, tapi………

“On” kata Duta yang pertama sampai di kelas

“On” lanjut Julio yang berdiri sambil mematung

“Apa!” kata ku terengah-engah dan masih tertunduk

“Rrrrrrr….. Rena-chan, desu ka?” lanjutku sambil menunjuk orang yang berdiri di depan kelas seperti orang bingung

“Leon-kun” katanya berseri-seri sambil berlari, anu lebih tepatnya menerjang dan menubruk ku hingga terjatuh

“Anjir, ini orang apa badak?” pikirku

     Ku akui pada pertemuan pertama sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu, aku masih agak canggung saat berbincang-bincang dengannya. 

Tuesday, October 7, 2014

Review Annabelle

     Oke, mungkin ini nggak ada sangkut-pautnya dengan JKT48 tapi film yang satu ini sangat sayang bila dilewatkan. Diawali dengan sebuah quotes menarik yang mengatakan bahwa boneka hanyalah media atau wadah bagi roh baik itu roh yang baik maupun yang buruk. Kisah berlanjut dan menceritakan latar belakang sebelum film Conjuring yang menceritakan tentang John dan Mia, sepasang suami istri yang bahagia karena Mia mengandung anak pertama mereka. Dan inilah foto mereka pada saat sesi interview.
"Annabelle Wallis (as Mia) and Ward Horton (as John) interview session"














 Dan ini foto pada saat John membeli boneka "Annabelle" untuk kelahiran anak pertamanya
"Annabelle un-boxing"
      Seperti yang telah tertulis di bagian awal bahwa boneka itu hanyalah media saja maka pada awalnya tidak ada masalah hingga terjadi kasus pembunuhan seperti yang tertera di trailernya (belum nonton? Klik link ini https://www.youtube.com/watch?v=paFgQNPGlsg)
      Oke itu tadi sebagian cerita tentang jalan filmnya (kalau dilanjutin takutnya spoiler, gomenasai). Overall filmnya good enough lah karena ada beberapa bagian yang harusnya membuat terkejut tapi jika saya bandingkan dengan beberapa film yang telah saya tonton sebelumnya, bagian-bagian tersebut kurang "menohok" bagi saya. Ada juga bagian yang sangat istimewa yaitu pada saat Romo Perez yang hendak mengexorcist iblis yang ada di dalam boneka malah kalah dan ekspektasi yang saya miliki sebelumnya bahwa Romo Perez akan meninggal pada saat berada di jembatan di mana adegan ini mirip dengan film revenge of Chucky tapi ternyata adegan exorcist ini lebih mirip dengan adegan pada saat Romo Delaney kalah dengan "mahluk" yang menghuni rumah pada film amityville horror.
      Plot dari film ini juga mirip dengan Paranormal activity di mana entitas yang jahat adalah iblis sendiri bukan arwah dari orang yang telah mati. Kelebihan dari film ini adalah cara-cara menghadirkan sensasi yang mencekam dengan efek suara yang menggelegar dan juga pengambilan gambar atau point of view yang sangat menarik (dan lucunya, hal ini membuat saya kagum dengan salah satu masterpiece yang sangat keren ini bukannya malah terkejut dan teriak-teriak seperti orang kesurupan). Sedangkan yang kurang dan sebenarnya bisa lebih diangkat pada sekuel ini adalah penjelasan yang lebih tentang ram disciple yang mendapat peran sebagai kelompok antagonis pada cerita ini.

       Akhir kata, film ini sungguh layak ditonton apalagi bagi pecinta film horror kalau nggak.....