Dulu ia
pernah tinggal di Indonesia, lebih tepatnya keluarganya mengontrak di rumah
yang ada di depan rumahku. Seorang gadis yang aneh dan asing tiba-tiba masuk ke
kompleks perumahan ku seperti bom yang mengacaukan stabilitas komunitas kecil
yang hidup tentram di wilayah terpencil (Tapi bukan pedalaman sih). Bagi para
orang dewasa hal ini disambut baik, begitu pula dengan para kaum-kaum
lainnya(dari anak muda sampai anak-anak). Tapi tidak denganku.
“Dik!” teriak kakakku dari lantai bawah
“Apa!” teriakku dari atas yang lagi asyik-asyiknya
membaca light novel di kamarku
“Cepet turun!” lanjutnya
“Nggak mau, kakak aja yang ke atas!” seruku pada
kakak perempuanku itu
“Kalau nggak turun, nggak kakak buatin es spesial!”
paksanya
“Kampret, kenapa kakak yang satu ini pandai
memaksa?” pikirku sambil menuruni anak tangga satu per satu sambil masih
membaca light novel yang sengaja ku corat-coreti untuk mentranskripsikan
tulisan kanji ke dalam bahasa Indonesia
Sebenarnya aku malas tapi mau gimana lagi, udah hawanya panas dan kakak
nawarin mau buatin es walaupun agak maksa. Sesampainya di lantai bawah, aku
kebingungan karena ada kue dan beberapa gelas es yang diletakkan di atas meja
makan.
“Kesempatan nih hehehehe” pikirku sambil mengecek
situasi dan aku yakin tidak ada seorang pun di rumah
“Hiiiiat!” teriak kakakku yang entah darimana
tiba-tiba saja muncul dan mengeluarkan jurus karate yang targetnya tidak lain
tidak bukan adalah kepalaku
Aku
bermanuver dan member serangan balasan ke arah perutnya yang tidak dilindung.
Ia berhasil mengelak dan menangkap tanganku tapi aku menyeruduk perutnya (maklum refleks) dan tak memikirkan
resiko bahwa bisa saja ia melepaskan tanganku lalu menggunakan kedua tangannya
untuk membelah kepalaku semudah ia membelah semangka. Kakak terjatuh dan mulai
menangis.
“Hiks, dedek kejam! Beraninya sama cewek!” serunya
“Kak Shinta sih…” belum sempat aku menyelesaikan
kata-kata ku
“Double slap!!!” serunya mengeluarkan jurus tamparan
bertubi-tubi
“Ampun kak, ampun!” seruku
“Tiada ampun
bagi mu *grin*” lanjut kak Shinta
Sekitar
15 menit setelah kegilaan ini esnya mencair dan kak Shinta menyalahkan ku atas
hal ini. Aku bingung sebenarnya ini salah siapa? Harusnya kan kak Shinta yang
salah, bukan salahku. Dan dengan terpaksa aku harus membuat ulang es special
yang aku nggak tahu cara buatnya dan kak Shinta nggak mau ngasih tahu caranya.
Saat aku membuka lemari es, ternyata es nya abis! Suara lolongan anjing makin
seru, ada tawa cekikikan dari seorang wanita, dan baying-bayang hitam
berlarian. Oke, aku coba menegarkan diriku dan keadaan ini nggak seburuk dipaksa
pacaran sama kuntilanak gila di kuburan pas malem Jum’at kliwon.
“Nyil!” teriakku memanggil adikku yang nomor satu
(btw nyil itu panggilan sehari-hari)
“Kunyil satu siap!” kata Alex sambil memposisikan
tanggannya untuk hormat
“Kunyil dua mana?” tanyaku
“Lagi balapan sepeda sama temen-temennya!”jawabnya
“Anak perempuan umur empat tahun balapan sepeda?
Kalau udah gede entar balapan apa? Balapan pesawat?” pikirku
“Yaudah, sono beli es di warung Mas Jono” perintahku
“Tidak bisa komandan, masih ada misi yang harus saya
selesaikan!” tolaknya sambil berlari keluar
Aku
mengambil sandal tidur yang tergeletak di dapur (punya Kak Shinta) dan membidik
kepalanya. Lemparan dengan akurasi mendekati sempurna membuat lemparan itu kena
tepat di kepalanya, dan ia membalas dengan melempar sepatu boot ayah yang
berada di garasi dekat tempat sepedanya terparkir. Aku berhasil mengelak tapi
lemparan tersebut mengenai satu piring yang malang dan piring tersebut pecah.
“Leon!” seru Kak Shinta
“Iya, iya!” ujarku
Dengan terpaksa
aku menggunakan es dari bekas eksperimen minuman bersoda yang aku awetkan
semalam di freezer (mungkin esnya menjadi agak nyentrik rasanya). Seusai
mengiris buah-buahan dan diberi campuran susu dan diblender, akhirnya e situ
jadi (aku namain es amburadul karena kalau susu dicampur soda akan jadi susu
suda tapi kalo smoothie campur soda nggak tahu gimana rasanya).
“Permisi” kataku sambil memencet belnya (jangan
tanya aku mencet pake apaan) yang posisinya sejajar dengan muka ku
“Chotto matte” sebuah suara muncul dari dalam rumah
“Oh, Jepun ya?” pikirku
*cklek* pintu itu terbuka dan……
“Ano……” kata perempuan yang sebaya denganku
“Dafuq, cewek Jepang?” pikirku
“Eto……” lanjutnya masih mencoba mencari fokus karena
pandangannya naik turun dari ku ke arah lantai
“Emang, di lantai ada apa?” aku pun menatap lantai
mencari sesuatu yang aneh
Ia pun
masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintu, kampret. Nah sekarang aku harus
gimana? Apa aku pulang aja ya? Tepat sebelum aku beranjak dari teras, pintu terbuka
lagi dan ternyata yang membukakan pintu tersebut adalah seorang perempuan yang
lebih dewasa dari yang sebelumnya.
“Mungkin ini kakaknya” pikirku
“Konnichiwa, hajimemashite watashi wa Leon
desu” kataku seraya membungkuk kan badan
Untungnya
nampan dan apa yang ada di atasnya telah aku letakkan di meja yang ada di
teras. Jika aku tidak menaruhnya, bisa dibayangkan seberapa parah kekacauan
yang aku perbuat di teras depan keluarga itu.
“Konnichiwa, watashi wa Akicha desu” balas perempuan itu
“Akicha-san bisa bahasa Indonesia?” tanyaku dengan
polosnya
“Sss..Sedikit” jawabnya dan tertunduk malu
Tiba-tiba
aku tak kuat untuk menahan tawa dan kami pun tertawa, menertawakan hal yang tak
kami ketahui. Setelah kami selesai tertawa, kami membawa semua makanan dan
minuman yang aku bawa dari rumah (semacam sarana ramah tamah mungkin?).
Baru
beberapa langkah dari pintu masuk, rasa penasaranku muncul karena aku melihat
lagi perempuan yang ku jumpai sebelum Akicha dan aku ingin mengenalnya lebih
jauh lagi. Tapi sebelum hal itu terjadi, aku harus mengenal siapa nama dari
perempuan itu. Aku dan Akicha menaruh hidangan dan minuman yang kami bawa ke
atas meja ruang tamu, dan aku pun dipersilahkan untuk duduk.
“Akicha-san soko ni suwatte iru josei wa daredesu ka?” tanya
ku
"Ā, sore Rena-chan" jelasnya
"Oh, jadi yang tadi ku temui itu Rena" pikirku
Aku tersenyum ke arahnya dan ia hanya bisa tersipu malu (atau mungkin ini hanya perasaan ku saja?). Hujan mendadak turun dengan derasnya dan sialnya aku lupa untuk membawa payung, dengan terpaksa ku putuskan untuk menetap dan menunggu hujan untuk berhenti. Handphone ku berdering tanda aku harus kembali ke rumah.
"Uhmm, Leon-kun anata wa ie ni kaeritai? tawar Rena dengan malu-malu
Tanpa banyak bicara, aku langsung mengiyakan tawaran Rena-chan dan ia mengantarku untuk pulang ke rumah (walau sebenarnya jarak rumah ku dengan rumahnya tidak terlalu jauh). Hujan yang lumayan deras di sore ini membawa suasana syahdu namun petir yang menyambar tetap saja menyebalkan.
"Rena-chan takut petir nggak?" tanya ku yang mengasumsikan bahwa Rena mengerti apa yang ku bicarakan
Ia menggelengkan kepala tanda bahwa ia tidak takut namun dengan ekspresi muka yang membuatku ingin mencubit pipinya yang terlalu kawaii.
*blar*
Tiba-tiba kilat membelah langit dan petir tercipta, pada saat aku menoleh ke arah Rena.... Ia hampir menangis.
"Rena-chan kanojo ni naranakute mo ii yo?" (ku pikir ini artinya apa kamu baik-baik saja padahal terjemahan kasarnya: nggak jadi pacarku juga ga papa kok) ku katakan untuk menanyakan keadaannya
"Rena-chan wa daijōbu janai nanika?" <-- Ini yang harusnya ku katakan
"Eh, nani?" katanya sambil menutup telinganya dengan sebelah tangannya
"Eto..." aku agak mikir
Setelah agak lama aku menyadari kesalahan ku ia pun menoleh ke arahku dan memandang mataku, aku pun juga melakukan hal yang sama sampai...... sebuah mobil melintas dan mencipratkan air yang ada di kubangan ke Rena-chan.
"Udah, ntar ganti aja di rumahku" tawarku padanya
NB: Gomen, jika tulisan Jepangnya nggak terlalu baik. Mohon dimaklumi dan bantu untuk memberikan komentar agar saya bisa lebih memperbaikinya.