Thursday, September 26, 2013

Cerita Retorika

           Asumsi adalah salah satu tingkatan terbawah dalam berpikir namun asumsi terkadang di rasa kurang pas untuk menyatakan argumen. Tapi mengapa akhir-akhir ini asumsi-asumsi tiba-tiba muncul dari dalam benakku. Apakah karena aku takut kehilanganmu sebelum engkau menjadi milikku? Ataukah karena aku takut untuk menderita lagi? Semua ini bermula di jalan Malioboro yang menjadi saksi bisu bertemunya dua insan.

          “Eh..... uh bisa minta nomor teleponmu ndak?” Tanya ku tergagap-gagap sambil mengumpulkan nafas sehabis mengejarmu yang secara tiba-tiba meninggalkan konser kecil di pingir jalan itu. Dan secara tidak sadar aku melihat momen itu. “Ya” Katamu secara singkat namun kurasa cukup memberi efek yang besar pada diriku. Lalu aku dan kamu berbincang-bincang sedikit tentang sekolah, asal, dan sebagainya. Dan kita sampai di Benteng Vredeburg dimana aku memarkirkan sepeda motorku sedangkan kamu hanya mengendarai sepeda onthel.  “Sekalian saja aku membayarkan parkir sepedamu saja ya?” pikirku. Lalu setelah aku melewati parkiran sepeda dan membayar parkir, kamu tersenyum dan mengucapkan kata terima kasih. Namun tiba-tiba di jalan aku mendapat firasat yang kurang enak dan benarlah ternyata yang menjadi sumber kegelisahanku berasal dari sepeda motorku yang mulai tidak seimbang dan mulai bergoyang. “Waduh, moga-moga nggak hujan nih” Pikirku setengah berharap. Namun sepertinya harapanku tidak sejalan dengan realitanya karena perlahan-lahan butiran air jatuh ke bumi. “Wah, udah malam, ban bocor, tambah hujan lagi” Batinku namun itu semua kurasakan tidak ada artinya dibandingkan mendapatkan sebuah deret angka yang sengaja disusun urut dan nomor itu telah aku miliki. Hari-hari menjadi lebih indah daripada yang sebelumnya dan perlahan-lahan aku mencoba menutup lembaran lama nan usang yang menyimpan duka dan derita, dan ku coba membuka lembaran baru yang masih putih dan belum tercoret oleh tinta apapun. Dua hari kemudian tepatnya pada hari Sabtu aku mencoba berkenalan lebih dekat denganmu.
“Halo, lagi ngapa kamu disana” ketikku untuk mengirim pesan dan mencoba memulai pembicaraan ini.
“Ini nomernya siapa?” balasmu dengan tambahan yang membuatku tersenyum karena berimajinasi bahwa kamu disana juga merasakan hal yang sama denganku.

“Yang kemarin tu loh masa lupa?” Candaku

            Lalu aku dan kamu saling bertukar cerita dan candaan. Ah, malam itu kurasakan aku ingin terjaga semalaman. Bulan bersinar dengan terangnya dan menemaniku bercanda malam itu setelah kamu mengetikkan kata “ Ok see you, Gbu” yang langsung ku baca.  Aku sudah tidak sabar untuk menemuimu di hari Senin sore.

          Hari yang kunantikan akhirnya tiba, walau dalam hatiku ini ada perasaan yang menggebu-gebu untuk banyak bicara padamu namun aku dituntut untuk profesional dan bisa menempatkan diri. Dan setelah matahari tenggelam dan ekstrakurikuler selesai aku mencoba memulai percakapan denganmu.

          Tapi akhir-akhir ini kurasakan dirimu seakan-akan mencoba menghindari diriku. Dan yang paling “pahit” menurutku adalah saat aku melihat dirimu bercanda dan berbicara dengan adik kelas dan kamu tak pernah seperti itu saat berbicara bersamaku. Aku ingin marah sekaligus takut akan mengulangi kejadian dulu sebelum aku bertemu denganmu karena sudah berpuluh-puluh kali ku rasakan rasa “pahit” ini.

          Pemberi Harapan Palsu hanya mitos itu kata teman-temanku, “Cobalah bertahan” mudah untuk bicara tapi sulit untuk dijalani. “Apakah aku akan kembali menjadi diriku yang dahulu sebelum bertemu denganmu?” tanyaku seraya mulai meninggalkan kantin itu.


          Senja turun lagi, ya senja selalu turun tidak pernah dapat dipungkiri bahwa senja selalu menepati janjinya tidak seperti mentari yang terkadang terpaksa harus mengingkari janjinya karena sibuk bercinta dengan awan.