Asumsi adalah salah satu tingkatan
terbawah dalam berpikir namun asumsi terkadang di rasa kurang pas untuk
menyatakan argumen. Tapi mengapa akhir-akhir ini asumsi-asumsi tiba-tiba muncul
dari dalam benakku. Apakah karena aku takut kehilanganmu sebelum engkau menjadi
milikku? Ataukah karena aku takut untuk menderita lagi? Semua ini bermula di
jalan Malioboro yang menjadi saksi bisu bertemunya dua insan.
“Eh..... uh bisa minta nomor
teleponmu ndak?” Tanya ku tergagap-gagap sambil mengumpulkan nafas sehabis
mengejarmu yang secara tiba-tiba meninggalkan konser kecil di pingir jalan itu.
Dan secara tidak sadar aku melihat momen itu. “Ya” Katamu secara singkat namun
kurasa cukup memberi efek yang besar pada diriku. Lalu aku dan kamu berbincang-bincang
sedikit tentang sekolah, asal, dan sebagainya. Dan kita sampai di Benteng
Vredeburg dimana aku memarkirkan sepeda motorku sedangkan kamu hanya
mengendarai sepeda onthel. “Sekalian
saja aku membayarkan parkir sepedamu saja ya?” pikirku. Lalu setelah aku
melewati parkiran sepeda dan membayar parkir, kamu tersenyum dan mengucapkan
kata terima kasih. Namun tiba-tiba di jalan aku mendapat firasat yang kurang
enak dan benarlah ternyata yang menjadi sumber kegelisahanku berasal dari
sepeda motorku yang mulai tidak seimbang dan mulai bergoyang. “Waduh, moga-moga
nggak hujan nih” Pikirku setengah berharap. Namun sepertinya harapanku tidak
sejalan dengan realitanya karena perlahan-lahan butiran air jatuh ke bumi.
“Wah, udah malam, ban bocor, tambah hujan lagi” Batinku namun itu semua kurasakan
tidak ada artinya dibandingkan mendapatkan sebuah deret angka yang sengaja
disusun urut dan nomor itu telah aku miliki. Hari-hari menjadi lebih indah
daripada yang sebelumnya dan perlahan-lahan aku mencoba menutup lembaran lama
nan usang yang menyimpan duka dan derita, dan ku coba membuka lembaran baru
yang masih putih dan belum tercoret oleh tinta apapun. Dua hari kemudian
tepatnya pada hari Sabtu aku mencoba berkenalan lebih dekat denganmu.
“Halo,
lagi ngapa kamu disana” ketikku untuk mengirim pesan dan mencoba memulai
pembicaraan ini.
“Ini
nomernya siapa?” balasmu dengan tambahan yang membuatku tersenyum karena
berimajinasi bahwa kamu disana juga merasakan hal yang sama denganku.
“Yang
kemarin tu loh masa lupa?” Candaku
Lalu aku dan kamu saling bertukar
cerita dan candaan. Ah, malam itu kurasakan aku ingin terjaga semalaman. Bulan
bersinar dengan terangnya dan menemaniku bercanda malam itu setelah kamu
mengetikkan kata “ Ok see you, Gbu” yang langsung ku baca. Aku sudah tidak sabar untuk menemuimu di hari
Senin sore.
Hari yang kunantikan akhirnya tiba,
walau dalam hatiku ini ada perasaan yang menggebu-gebu untuk banyak bicara
padamu namun aku dituntut untuk profesional dan bisa menempatkan diri. Dan
setelah matahari tenggelam dan ekstrakurikuler selesai aku mencoba memulai
percakapan denganmu.
Tapi akhir-akhir ini kurasakan dirimu
seakan-akan mencoba menghindari diriku. Dan yang paling “pahit” menurutku
adalah saat aku melihat dirimu bercanda dan berbicara dengan adik kelas dan
kamu tak pernah seperti itu saat berbicara bersamaku. Aku ingin marah sekaligus
takut akan mengulangi kejadian dulu sebelum aku bertemu denganmu karena sudah
berpuluh-puluh kali ku rasakan rasa “pahit” ini.
Pemberi Harapan Palsu hanya mitos itu kata
teman-temanku, “Cobalah bertahan” mudah untuk bicara tapi sulit untuk dijalani.
“Apakah aku akan kembali menjadi diriku yang dahulu sebelum bertemu denganmu?”
tanyaku seraya mulai meninggalkan kantin itu.
Senja turun lagi, ya senja selalu turun
tidak pernah dapat dipungkiri bahwa senja selalu menepati janjinya tidak
seperti mentari yang terkadang terpaksa harus mengingkari janjinya karena sibuk
bercinta dengan awan.