Wednesday, September 25, 2013

Dilema

            Mengapa, kata itulah yang pertama kali terbersit di benakku. Semua tak seindah katamu dunia yang dulu ku kenal berbeda dengan yang sekarang, dunia kini serasa mengharu biru bagiku. Inginku berkehendak lain namun takdir mengatakan yang sebaliknya hingga perpisahan pun yang menjadi solusinya. Solusi terbodoh yang pernah aku temui. Rintik hujan yang berjatuhan menemani bau tanah yang basah dan temani kita di bandara itu.

“Kamu harus mencoba berpaling dan melupakanku” katamu

“Tapi, seharusnya bukan ini yang terjadi. Orang tuamu ingin aku menjadi seperti ini kan?” hanya itu yang bisa aku keluarkan dari mulutku yang hina.

“Ya, semua ini keinginan orang tuamu kan? Memiliki seorang laki-laki mapan untuk mendampingimu dan bukannya seorang pelajar?” Suara hatiku berteriak, berteriak dalam benakku.

“Tapi, aku suka dirimu yang dahulu! ” Balasmu bersamaan dengan datangnya hujan dari air matamu yang tak pernah kubayangkan untuk menjadi kenyataan.

“Apa yang berubah dariku? Apa !” Kataku mulai meracau.

“Semua ini supaya orang tuamu dapat menerimaku semua ini demi kita !” Sambungku.

“Kita ! apanya yang kita yang kau pikirkan hanya tentang dirimu! Tak pernah ada kata kita dalam cerita ini !” Balasmu yang membuat jantungku serasa berhenti berdetak

“Aku?” Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutku

“Ya ini semua salah mu ini semua karena mu! Yang kau pikirkan hanyalah cara untuk merubah pandangan orang tuaku padamu sadarkah ada yang berubah dari sifatmu?” Katamu bersamaan dengan keluarnya air mata yang semakin deras.

“Aku rindu dirimu yang dulu, yang penuh kasih sayang padaku, yang selalu memiliki waktu untukku tapi kini semua telah berubah ! pernahkah kamu memikirkan diriku selama ini?” Sambungmu

“Maukah kamu memberiku kesempatan satu kali lagi agar dapat menunjukkan bahwa aku dapat menebus semua kesalahanku padamu?” Pintaku dari hati yang terdalam

“Tidak kurasa inilah akhir dari cerita kita” Tolakmu seraya berlari, ya berlari hingga batas cakrawala, berlari hingga tak dapat ku jangkau lagi.
         
          Apa kesalahanku? Hanya itu yang selalu terngiang dalam batinku, mungkin inilah perasaan yang dirasakan oleh penulis lagu Leaving On The Jetplane. Semua hasil kerja kerasku terasa sia-sia belaka musnah sirna sudah apa yang menjadi keinginan dan impianku selama ini. Dengan langkah gontai ku masuki bilik pesawat sesuai yang tertera dalam tiketku. Telah ku coba berbagai cara untuk melupakanmu namun hasilnya selalu nihil, Nol besar ! Ya, itulah diriku kini seorang pria yang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta. Cinta? Apa itu cinta, apakah cinta adalah perasaan yang didapatkan setelah aku memiliki uang? Aku tak tahu kemana harus berjalan. Tak terasa aku menangis dalam tidurku dan tiba-tiba terdengar suara peringatan dari pengeras suara di dalam pesawat.

“Sudah jangan berisik ! Biarkan aku sendiri bila pesawat ini memang di takdirkan untuk jatuh biarkan saja aku sudah tak peduli pada semuanya !” Pikirku dalam kekalutan hatiku.

Pesawat jatuh ya jatuh menuju dalamnya air yang dingin sedingin hatiku kini.

            Tiba-tiba jam wekerku berbunyi, “Sialan mimpi apa aku tadi?” gumamku dalam keadaan yang setengah terjaga. Aku hanya berharap hari ini berjalan seperti biasa tidak ada suatu kejutan. Dari pagi hingga siang semuanya biasa saja aku masih berharap semoga sore sewaktu ekstrakurikuler tidak ada yang berbeda. Namun, semua yang kupikirkan di pagi hari berubah ketika ku lihat dirimu tersenyum padaku disaat senja datang.

“Kenapa’e kok senyum-senyum, ada yang aneh ya?” Kataku

“Ah, enggak cuma aku suka sama kamu saat kamu berlatih sungguh-sungguh” Balasmu dengan senyummu yang seindah mentari yang mencoba menghalau gelap disaat fajar.

“Bener nih nggak ada yang aneh?” Tanyaku lagi

“Iya” Katamu

“Aku juga suka” Kataku memancing tanggapan darimu

“Pasti suka senyumku ya? Udah basi tahu” Katamu sambil tersenyum kecil

“Nggak aku suka saat dirimu saat manyun hehehehehe” Candaku

“Ih kok gitu sih” Balasmu sambil menampilkan ekspresi manyunmu yang membuatku terpesona

“Tuh kan kalo manyun lebih lucu” Tambahku

“Kamu tu bisa aja”  Katamu.

“Mau bareng nggak pulangnya udah malem loh ntar di cariin susternya?” Godaku

“Eh, kayaknya nggak usah deh kan aku barengan sama temanku tadi ke sininya” Balasmu yang membuatku merasa seperti orang bodoh karena di mabuk cinta.

“Ya udah besok berangkat latihan lagi ya?” Tanyaku

“Iya” Jawabmu dan mengakhiri pembicaraan kita


Ah, aku ingin hari-hari yang indah seperti ini selalu terjadi dan tak pernah berhenti sambari memanaskan mesin motorku dan bersiap meninggalkan sekolah untuk menuju rumahku.