Friday, October 2, 2015

Antara Refleksi dan Garis


Teruntuk dia yang mungkin sudah mulai jemu dengan segala roman picisan ini.

    Sebetulnya, aku selalu memilih untuk menjalankan segala sesuatu yang aku bisa secara mudah dan singkat. Aku agak tidak menyukai semua hal yang bertele-tele seperti permasalahan yang aku hadapi saat ini. Mengutip salah satu ayat yang tertulis dalam biblis "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat." (Matius pasal 5 ayat 3). Aku hanya ingin semua berjalan sesuai dengan rencanaku.

   Mungkin aku mengidap OCD atau semacamnya, tapi yang jelas aku mengetahui bahwa segala tergetku harus tercapai. Terlihat ambisius bukan? Tapi aku lebih memilih untuk disebeut sebagai orang yang visioner. Tetapi bukankah ketika aku mengikuti intuisiku ini dan menjalankan semua hal sesuai dengan jadwal, apalah bedanya aku dengan seonggok besi yang dinamai mesin atau robot?

      Sebuah pertanyaan reflektif yang membuatku ingin berubah menjadi pribadi yang mungkin lebih baik daripada aku yang sebelumnya. Jujur selama menjalani masa SMA, aku tidak pernah seekspresif ini, aku lebih memilih untuk hidup di dunia ku sendiri (dan mungkin kebiasaan ini masih ku jalani hingga saat ini). Sebuah aktifitas yang menyenangkan ketika aku bisa merasa nyaman ketika memasukkan segala macam hal yang aku inginkan ke dalam "sebuah kotak" dan ikut memasukkan diriku ke dalamnya. Bisa dibilang semacam siswa IPS yang anti sosial. 

   Hal ini terus berlanjut sampai aku mencapai titik jenuh. Lalu aku mencoba untuk mencari komunitas yang sesuai dengan diriku, dan akhirnya aku menemukannya. Pada awal mulanya aku merasa nyaman dan bahagia ketika aku mengikuti segala dinamika yang ada, mulai dari membuat proyek bersama, berkumpul bersama, dan menonton konser bersama. Hingga timbul sebuah pertanyaan baru dalam diriku, apa tujuan yang ingin kamu capai ketika kamu mengidolakan seseorang nun jauh di sana? Apakah hanya demi kepuasaan rohani sesaat? Atau kamu ingin melihatnya "bersinar" layaknya kembang api dan pudar ketika ia sudah mencapai puncaknya?

      Jujur, beberapa pertanyaan inilah yang membuat diriku hampir gila dibanding pengeluaran yang aku keluarkan selama ini. Well, menjadi minoritas di sekolah yang notabene nya merupakan sekolah yang anti mainstream merupakan suatu tantangan dan beban yang berat. Aku yang awalnya salah satu orang yang mungkin tidak dikenal oleh sebagian besar "keluargaku" menjadi terkenal dengan sebutan wota. Mungkin aku akan lebih memilih julukan fan karena aku tidak seekstrim wotaku yang hampir selalu meluangkan waktunya untuk idola mereka.

    Jarak membuat segalanya berubah, jarak yang sangatlah jauh membuat ku semakin terpuruk. Ketika teman-teman seperjuangan mulai menyingkir hanya tinggalah aku sendiri di sini menanti suatu kepastian dari hal yang tidak pasti.

       Kini semua berubah, aku mulai mencoba untuk menjadi lebih adaptif. Pertajam insting entah aku harus mengorbankan kewarasanku untuk menjadi orang yang "normal" apa pun akan aku lakukan. Aku tidak ingin kembali menjadi diriku yang dulu. Aku adalah aku.

        Tapi Tuhan punya rencana lain, entah dengan cara semisterius apa ia menghadirkan diri mu. Suatu pribadi yang unik dan memiliki cara tersendiri untuk menarik perhatianku. Mungkin hanya aku yang merasa atau kau juga merasakannya? Bukankah kita terpaksa untuk menjalani takdir yang mengikat kita? Sebenarnya aku tidak ingin memaksakan segala apa yang aku inginkan terhadap dirimu. Sebenarnya aku ingin mengenal dirimu lebih jauh. Dan sialnya lagi, kita dibatasi oleh garis. Suatu garis yang entah nyata atau tidak, antara ilusi dan delusi. Tetapi lewat garislah kita dihubungkan, tapi bisakah hati kita?

Wednesday, September 16, 2015

Roman Picisan


      Sebuah rutinitas atau pola biasa terjadi setelah adanya dinamika di sekitar kehidupan kita, aku masih menunggu di sini, di tempat di mana seharusnya telah ku tinggalkan sejak dulu. Ia masih sama, masih seperti apa yang aku ketahui, tidak berubah sedikit pun.

     Ia tersenyum, entah untuk siapakah senyuman terindah itu ia berikan, senyum yang sepedih kenangan yang selalu teringat dalam angan. Mungkin hanya aku yang merasa atau mungkin ia juga merasakan hal yang sama?

"Hai" sebuah ucap terlontar dan membuyarkan lamunan ku

"Yep" spontan kata terucap dari mulutku

"Gimana latihan dramanya?" tanyanya dengan sedikit nada ragu yang membuatku bertanya-tanya

"Ya begitu lah" jawabku dan perlahan beranjak meninggalkannya

     Mungkin meninggalkan bukanlah kata yang tepat karena aku tak pernah mencoba mendatanginya. Ku tatap panggung di mana aku harus berlatih, dengan nanar yang perlahan mulai pudar karena rapuhnya.

"Gimana, udah dapet fill nya kan?" tanya sang sutradara

     Ia merupakan mentor sekaligus guru yang selalu menemani dinamika yang selama ini terjadi, tapi sosoknya kini yang perlahan mulai menua membuatku semakin sungkan untuk bertemu dengannya.

"Hehehehehe udah kok pak" tanya ku sembari menunjukkan senyum yang memang sengaja ku buat

     Sebenarnya aku mulai lelah dengan semua ini, semua retorika yang tercipta karena suatu perasaan yang terpaksa dan dibuat-buat. Dan telah berulang kali aku mencoba untuk mendalami peran yang sebenarnya memang tidak aku sukai.

   Panggung masih kosong, sepertinya hari ini tidak akan ada yang berlatih selain diriku. Seperti biasa, aku mulai mendalami peran dan mencoba untuk menghidupi peran tersebut. Lalu ia datang dan langsung mencoba berlatih dengan diriku.

"Sepertinya kita bisa....." sedikit jeda keluar dari mulutku

"Tidak" jawabnya singkat dengan penekanan nada pada setiap intonasi kata

"Tapi...." kata ku mulai meragu

"Bukankah sudah beratus-ratus kali ku katakan tidak" tatapan dingin ia berikan pada ku lalu ia pun pergi

   Semua kata dan gestur yang ku lihat memperlihatkan keengganan dirinya untuk membuka dirinya. Entah ini hanya perasaanku saja atau sebuah kenyataan yang harus aku jalani.

   Dan surya pun mulai menyampaikan salam perpisahannya padaku, hujan rintik mulai membasahi permukaan bumi dan akupun mulai melintasi trotoar sembari bersenandung. Mungkin ini yang terbaik untuknya, atau haruskah aku mencoba melupakan perasaan semu ini? 

   Hingga tibalah diriku di sebuah persimpangan dan ku lihat dirinya berboncengan dengan orang lain. Aneh, mengapa aku tidak merasakan amarah atau bahkan secuil rasa cemburu? Ini terlalu aneh bahkan untuk diriku, seorang introvert yang tidak pernah bisa menyampaikan apa yang sebenarnya aku rasakan. 

  Pagi ini masih mendung, seperti hari-hari yang telah berlalu. Aku pergi menuju halte bus di mana aku biasa menunggu bus setiap harinya. Dan ia pun duduk di pinggir kursi tempat menunggu bus.

"Hai" sapa ku dengan perasaan riang yang mungkin sengaja ku buat

  Ia tidak membalas nya, mungkinkah kondisi yang ia rasakan lebih berat daripada tekanan yang aku rasakan? Atau mungkin fisik nya sudah tidak kuat lagi untuk menahan beban yang ia rasakan karena diriku?

"Hai..." ia pun mulai berucap

   Iya, aku tahu ia sedang sakit entah karena suatu penyebab yang membuatku pusing jika harus menelisik. Dan bus pun datang lalu aku dan dia memasuki nya.

     Mungkin aku dan dia hanyalah teman seperjalanan, atau mungkin pertemuan ini hanyalah suatu kebetulan yang kejam? Entah.

Tuesday, September 8, 2015

Sebuah Drama


    Sebenarnya kita tidak memerlukan adanya sebuah drama, toh hidup kita sudah dipenuhi oleh drama. Jadi mengapa kita harus merepotkan diri dengan segala pernak-pernik yang bahkan tanpa kita sadari, sebenarnya kita tidak memerlukannya? Sesungguhnya jika diharuskan untuk memilih antara meluangkan waktu untuk membuat suatu naskah drama (yang bahkan saya rasa tidak relevan dengan tujuan awal) atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, saya lebih memilih untuk mengambil pilihan yang kedua.
   
   Pilihan yang saya ambil akan sangat logis karena saya menyadari bahwa konsekuensi dari mengerjakan tugas dengan setotalitas yang saya bisa maka saya akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan ekspektasi saya. 
      
    Pernahkah teman-teman berpikir atau bahkan merefleksikan kejadian sehari-hari yang terjadi di sekitar anda, sudah seperti drama itu sendiri? Pernahkah kalian merasa bahagia layaknya Sitti Nurbaya yang bisa bertemu dengan Samsul Bahri? Atau pernahkah kalian harus mengorbankan suatu hal yang berharga demi cinta yang fana seperti roman Romeo dan Juliet? Mungkin masih banyak lagi peristiwa yang terjadi di sekitar kalian dan "berjalan" seperti sebuah drama.

    Mungkin drama adalah suatu karya yang diambil dari peristiwa nyata yang di"dramatisasi" atau mungkin drama adalah satir bagi kehidupan kita yang bahkan lebih "alay" dari cerita-cerita dalam drama. Segala kemungkinan itu bisa terjadi karena drama memanglah tidak penting bagi kita.

     Banyak ahli yang berpendapat bahwa drama itu penting karena banyak faktor, tapi menurut saya itu hanyalah bullshit karena kehidupan lebih dramatis dari drama itu sendiri. 

    Timbullah suatu pertanyaan, pentingkah sebuah di kehidupan moderen di mana tiap individu hidup dengan ego masing-masing? Dan menurut saya hal ini tidaklah penting karena kita sebagai manusia telah kehilangan esensi kita, kita mulai apatis. Selalu mementingkan apa yang menurut "diriku" penting tanpa mempertimbangkan kepentingan bersama dan konsekuensi dari hal yang kita perbuat. 

   Kita selalu membatasi diri kita dengan waktu tanpa berani bermimpi dan mencoba setotalitas mungkin untuk mewujudkan mimpi tersebut. Bukankah dahulu pergi menuju ke bulan atau bahkan planet lain adalah suatu asa belaka? Bukankah dahulu kemerdekaan hanyalah impian semu belaka? Tapi bagaimana faktanya kini? Semua orang yang berani bermimpi HARUS berani untuk berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan mimpinya.

     Jadi apa tujuan saya membuat tulisan ini? Tulisan ini saya buat untuk menjadi bahan refleksi bagi diri kita untuk memikirkan apakah "drama" itu masih penting bagi diri kita dan menjadi suatu bahan evaluasi bersama untuk berani berusaha keras dalam mewujudkan mimpi bersama.