Monday, September 8, 2014

Starry Night


          Pagi itu seperti biasanya sebelum aku menuju ke kantorku, aku selalu menyempatkan diriku untuk mengunjungi sebuah kios musik kecil dipinggiran pertokoan itu. Sang pemilik kios tersebut adalah seorang kakek yang sudah lumayan berumur. Yang menjadi daya tarik dari kios tersebut bukan karena kakek itu, tetapi anak dari kakek tersebut. Sebenarnya aku kurang paham, apakah perempuan itu merupakan anak atau cucunya. 

"Mbak, album V nya Maroon 5 sudah ada belum?" tanya ku dengan sopan

"Coba dicari di rak sebelah utara, mas" jawabnya

          Perlahan-lahan, ku susuri satu per satu kaset yang berada di rak tersebut. Namun tak juga ku temukan benda yang aku cari. Ternyata, album Ghost Stories dari Coldplay sudah ada dan langsung saja aku bawa ke kasir.

"Wah, ternyata yang Maroon V belum ada mbak" kataku

"Lho, padahal baru saja pagi ini saya susun di sana mas" ujarnya

"Yang covernya biru ya mbak?" tanyaku

"Iya mas" jawabnya

"Ada gambar sayap burungnya, ya?" lanjutku

"He'e" sambungnya

"Yang ini, ya?" tanyaku sambil menunjukkan CD yang aku ambil

"Nah, yang itu mas" ujarnya

"Mas Leon ya?" katanya secara tiba-tiba setelah mengamatiku dengan seksama

"Iya" kataku berusaha terlihat kalem

"Eh mas, mau sekalian beli album Papan Penanda Isi Hati nya JKT48 sekalian ndak?" tawarnya

"Hehehehehe, ndak dulu baru bokek je" ujarku sambil mengecek isi dompet yang tinggal berisi 2 lembar 50 ribuan dan Shania pun tertawa

          Mungkin pagi itu ia agak kebingungan melihat diriku yang mengenakan pakaian formal, tidak seperti yang biasanya ku kenakan. Pagi ini, ada sebuah meeting dengan salah satu investor pemegang saham terbesar di perusahaan di mana aku bekerja. Biasanya hanya orang-orang khusus yang mengikuti meeting ini dan entah mengapa aku termasuk salah satu di antaranya. Padahal jika ku pikir ulang, kinerja ku selama ini biasa-biasa saja. Mungkinkah ini sebuah promosi jabatan? Hanya itulah yang dapat aku pikirkan.

"Mas Leon kok pakai baju bagus, kenapa ya?" tanyanya dengan akrab

"Rahasia, hehehehe" jawabku santai sambil keluar dari toko tersebut mengingat beberapa pekerjaan yang masih harus aku tanda tangani di kantor

          Sesampainya di kantor yang lokasinya tidak jauh dari toko musik itu, aku langsung menuju ruang kerja dan menandatangani beberapa dokumen dan masuk ke ruang meeting. Saat memasuki ruangan tersebut, ruang itu masih kosong. Beberapa menit menunggu namun ruangan meeting masih kosong, tapi.....

"S'lamat ulang tahun!" tiba-tiba beberapa orang termasuk investor yang ternyata sahabat lama ku membuka pintu dan membawa sebuah kue yang lumayan besar

"Jadi, meeting hari ini cuma bo'ongan ya?" tanya ku karena CIO dan CFO (entah karena mereka tidak punya kerjaan atau semacamnya) ikut mendalangi aksi ini

"Coba cek presentasi yang telah saya persiapkan" kata manajer bagian keuangan

          Ternyata setelah di buka, meeting kali ini bertujuan untuk merayakan ulang tahun sekaligus kenaikan pangkat ku dari seorang manajer bagian pemasaran menjadi Chief Executive Officer. Menurut ku hal ini terlalu cepat, mengingat bahwa aku baru beberapa tahun bekerja di perusahaan ini. Namun, beberapa kolega dan atasan menyarankan hal ini dan menganggap bahwa orang yang paling cocok untuk mengisi jabatan yang kosong tersebut.

"Ntar, makan-makannya jangan lupa ya pak CEO hehehehe" kata Kevin, investor yang juga sahabat lama ku

"Iya, siap deh bos hahahaha" kata ku sambil tertawa

          Setelah pesta yang lumayan meriah tersebut, hari mulai beranjak menjadi malam. Sekitar jam setengah delapan malam, aku membawa beberapa bingkisan untuk toko musik langganan ku dengan berjalan kaki dari pusat perbelanjaan. Ketika aku memasuki toko tersebut, nampaknya ada yang janggal karena tak ku dapati sosok Shania di sana. Setelah menaruh semua bingkisan ke bagian dalam toko yang sekaligus rumah tersebut bersama kakek dari Shania, aku dan kakeknya mulai berbincang-bincang

"Nak Leon selamat ulang tahun, ini kakek ada kado buat sampeyan" kata kakek tersebut dengan logat jawa yang lumayan kental

          Kalau tidak salah, Shania masih keturunan dari kraton. Keluarga kami juga telah lama berelasi, karena kakeknya adalah teman semasa kecil kakekku (yang terpaksa harus pindah ke kota untuk mengadu nasib).

"Wah, ndak usah repot-repot mbah" kataku sambil menerima kepingan hitam dari kakeknya Shania (kebiasaan orang jawa mah begini)

"Lho mbah, Shanju nya ke mana" ujarku (panggilan akrab Shania adalah Shanju)

"Biasa le, paling lagi mikirke langanne (Biasa nak, pasti lagi memikirkan pacarnya)" jawab kakek Shania mulai melinting rokok tembakaunya

          Mengingat bahwa aku tidak terlalu fasih menggunakan bahasa jawa yang baik dan benar, maka aku melanjutkan pertanyaan itu dengan Bahasa Indonesia.

"Oh, Shanju sudah punya pacar ya mbah?" tanya ku

"Wes, sampeyan takon mawon kaliyan Shanju" jawabnya

          Seperti biasanya, Shania berada di kamarnya pada saat "galau". Lagu Granade dari Bruno Mars terdengar alih-alih lagu Koisuru Fortune Cookie yang biasa ia putar pada saat bekerja.

*Tok* ku ketuk pintu tersebut

"Pergi!" katanya

"Kamu kenapa je nju?" tanya ku

"Mas Leon kan, pergi sono mas! Aku lagi nggak mau diganggu!" bentaknya

"Ya elah dek, kowe ngopo meneh je? (Ya elah dek, kamu ngapain lagi sih?)" tanyaku sambil mencoba membuka pintu yang ia kunci dari dalam

"Nek kowe cerito kan sopo ngerti aku iso mbantu (kalau kamu cerita, siapa tahu aku bisa bantu)" lanjutku

*Cklek* terdengar kunci pintu yang terbuka

          Mata Shania yang sembab sehabis menangis menambah rasa penasaran ku, dan ia pun mulai menceritakan permasalahannya. Ia bercerita bahwa pacarnya yang sudah lama merajut hubungan pacaran dengannya tiba-tiba meninggalkannya demi perempuan lain. Jam menunjukkan pukul 21.00 dan aku teringat bahwa masih harus menghadiri sebuah pesta makan malam, akhirnya tanpa pikir panjang aku mengajak Shania. Shania awalnya menolak tapi setelah ku jelaskan dengan panjang lebar akhirnya ia mau ikut.

"Lho, malam-malam Shania mau diajak kemana mas?" tanya kakeknya yang sudah menghabiskan beberapa linting rokok

"Mau cari makan dulu mbah" jawabku

"Ya sudah, jangan pulang malam-malam nduk" katanya pada Shania

           Taksi yang ku telepon sudah datang dan kami berdua menaikinya. Dalam perjalanan kami saling bercanda dan bercerita tentang apa saja yang terjadi selama hari ini sembari menikmati suasana hingar bingar kota Jakarta yang tak pernah sepi.

          Saat sampai di restoran, Shania kelihatan malu-malu tapi aku meyakinkannya agar tak usah ragu. Ternyata restoran bintang 5 tersebut telah dipesan dan yang lumayan mengagetkanku adalah pemesanan restoran itu atas namaku.

"Pak CEO, tanda tangan di sini pak" kata resepsionis

"O iya" kataku

"On, itu gebetanmu?" tanya  Kevin

"Eh, menurutmu gimana nju?" tanya ku pada Shania

"Errrrrr" kata Shania dengan gugup

          Nah, bagian terakhir dari pesta adalah yang paling gila (menurutku). Lomba "minum" sampai K.O. Ketika semua orang telah kalah, tinggal Kevin dan aku yang tersisa.

"Masih kuat satu ronde vin?" tanyaku

"Masih lah" jawabnya dengan setengah mabuk

          Padahal setelah itu dia K.O

"Mas, kamu ndak mabuk kan?" tanya Shania yang ketakutan

"Nggak kok" kata ku

"Sekarang kamu tutup mata deh" lanjutku

"Ahhh, nggak mau mas ntar diapa-apain" ujar Shania

"Nggak kok, aku jamin deh" kata ku

          Dan kami pun meninggalkan restoran tersebut setelah membayar bill yang harusnya bisa untuk makan 1 bulan (Sedih juga sih). Pemandangan langit malam Jakarta yang cerah dan bertabur bintang menghiasi malam ini.

"Will you marry me?" kataku setelah membuka penutup mata Shania dan memperlihatkan pemandangan indah ini

          Ia tidak mengeluarkan satu kata pun dan langsung memelukku.






Thursday, September 4, 2014

Bekal Istimewa

    Pagi ini aku bangun setelah beristirahat dari rutinitas yang lumayan menguras energi. Sedari tadi malam, aku masih bergumul dengan sebuah cerita yang entah akan aku selesaikan sampai di mana. Tak selang berapa lama, terdengar suara ketukan dari arah pintu depan.

"Siapa sih yang pagi-pagi begini iseng?" pikirku sambil menggaruk-garuk kepala

    Dan ketika pintu ku buka, tanpa ku sadari seakan-akan mata ini enggan bergerak dan tak terasa mulutku agak menganga.

"Kamu siapa?" entah kenapa kata ini langsung saja meluncur

"Eh, apaan sih? Ayo cepetan ntar terlambat lho!" katanya agak risih

"Aku siapa?" balasku mulai melantur

"Tuh kan, efek jomblo permanen" ujarnya sembari menjulurkan lidah

"Ya udah, kalau mau nungguin, di ruang tamu aja" tawarku sambil menuntunnya memasuki ruang tamu ku

    Selang sekitar 30 menit aku telah siap dan membawa sepiring roti dengan selai a la kadarnya dan ku suguhkan kepada dirinya.

"On, menurutku ceritanya dibeginikan saja" tiba-tiba ia mengatakan hal itu dan menyodorkan laptop yang dari tadi ada di ruang tamu dan hendak ku bawa ke sekolah

"Eh, eh, lho... kok kamu beginikan ceritanya? Ini kan cerita buatan ku" kata ku sambil mencermati alur yang sengaja Melody rubah

    Menurut pendapat pribadi ku, beberapa perubahan yang Melody berikan pada cerita ku memberi sebuah inspirasi baru lagi. Sebenarnya aku sudah tidak mampu untuk melanjutkan cerita itu, tapi entah kenapa karena kejadian insidental ini, semua berubah.

"Ceritanya ngga jelek-jelek amat kok, huft" dan ia langsung menggembungkan pipinya (kayak ikan buntal sih, aslinya)

"Iye, iye bawel" ujarku sambil mencubit pipinya

"Ihhh, Leon jahat deh!" teriaknya dan langsung melemparkan bantal pada ku

    Ku pikir sedikit kehebohan cukuplah untuk menyemarakan hari ini, dan sambil memakan roti yang kami bagi berdua, kami berangkat ke sekolah.

    Sebenarnya aku selalu memikirkan tentang dirinya, tapi apakah ia juga memikirkan diriku? Tapi walaupun aku memiliki rasa pada dirinya, namun ku pikir belum ada momen yang tepat untuk menyatakannya. Dan pelajaran pertama pun di mulai.

"Yak anak-anak hari ini kita akan mengadakan ulangan" kata Pak Steven, guru matematika

"Hmmmmm, mampus nih" pikirku karena posisi duduk yang kurang strategis

    Ketika aku menoleh ke belakang, Melody lagi-lagi mengejekku karena di sebelah tempat duduknya ada si Shania, si master matematika. Di tengah ke gundahan otak yang terpaksa memikir lebih keras dari biasanya, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang

"Nih, dari Melody" kata teman di belakangku

    Kertas itu tidak langsung ku buka tapi ku lempar serampangan ke atas dan menyambar kipas angin (yang untungnya kipas angin tersebut tidak terlalu ringkih) dan hasilnya......

"Siapa yang bermain-main dengan kertas ini!" bentak Pak Steven yang terganggu karena kertas tersebut mengganggunya dalam mengoreksi hasil ujian dari kelas sebelah (padahal aslinya, ia mungkin mencari cara untuk menggombalik Bu Rani)

"Saya pak" jawabku santai, entah karena otak ini sudah mentok atau aku tak bisa mencari alasan untuk bersembunyi

"Kemarikan jawabanmu Leon!" perintahnya

*Hening*

    Keheningan ini membuatku risih, karena hanya ada dua kemungkinan yaitu: Jawabanku salah semua atau suatu hal yang lebih buruk dari itu dan tak bisa ku bayangkan. Setelah mencermati setiap goresan pena yang ada di lembar jawaban Pak Steven langsung menyerahkan kembali kertas jawabanku.

"Kamu boleh meninggalkan ruangan kelas ini, Leon" katanya mulai kalem

"Eh, serius pak?" tanyaku seperti orang tolol

"Iya lah, masak dua rius?" mungkin ia akan mengatakan hal ini

    Tanpa basa-basi ia hanya menggerakkan tangannya seperti mengusirku. Dan ku beranikan diriku untuk melihat ke lembar jawabanku dan tak bisa berkata apa-apa *stutter*. Seperti layangan putus tubuhku ini langsung menuju ke bangku dan terduduk diam. Teman-teman di sekitar langsung mencuri pandang dan langsung terdiam bak habis melihat hantu saja. 100 dengan warna merah tertera dipojokkan lembar jawabku. Sehabis memasukkan kertas ulangan tersebut ke dalam tas, aku langsung menuju perpustakaan untuk menumpang merasakan dinginnya AC perpus yang lumayan adem.

    Saat aku membuka pintu perpus dan menyapa bapak penjaga perpustakaan, aku melihat gadis ini. Kalau tidak salah namanya Ve, ia merupakan orang yang lumayan pendiam namun dianggap jenius oleh teman-teman yang sekelas dengannya. Info ini ku dapatkan dari Shania selain master dalam bidang matematika, ia juga gudang dari karakter tiap orang di sekolah mulai dari kelas X hingga XII. Oh iya, aku lupa mengatakannya di awal bahwa saat ini aku berada di kelas XII.

"Ve" sapa ku sambil mendekat

Tak ada jawaban

"Oi" kata ku sambil duduk di sampingnya

Ia menjauh dengan gerakkan ulat bulu

"Kamu kenapah?" tanya ku dengan cara biasanya yang menjengkelkan bagi kebanyakan orang dan berpindah posisi untuk mendekatinya lagi

*blug* Ve pun terjatuh dan langsung berdiri

"Kamu jahat" katanya pelan sembari mengambil ancang-ancang untuk melemparkan buku yang ia baca pada ku

"Eeeh maaf, kan aku cuma mau nyapa kamu, kamu nya sih yang cuek" kataku tanpa bersalah

    Tak terasa jam pelajaran telah berakhir dan memasuki jam istirahat (sebetulnya sih aku dan Ve sudah dari tadi istirahat). Waktu ku tanya sih, katanya Ve tadi ia habis mengerjakan ulangan fisika dan langsung ke perpus (jenius mah bebas). Saat aku hendak menuju kantin, Melody menghadang laju ku.

"Hayooo, mau ke kantin ya?" katanya

"Ya iyalah, masak mau ke rumahmu?" pikirku

"Eh, emangnya kenapa mel?" tanya ku

"Nih, aku bawa bekal dobel" lanjutnya

"Wah lumayan nih, nge hemat uang jajan" ujarku dalam hati

"Sejak kapan kamu bisa masak?" kata ku mulai kepo sambil duduk di pinggir lapangan bola bersama Melody

"Dari kemarin sih" ujarnya

"Wah, pasti nggak enak nih" canda ku

"Coba dulu baru komentar atuh" katanya mulai mengeluarkan logat sunda nya

"Iye, iye" kata ku

"Aaaak" ujarnya sambil mengangakan mulut meminta agar disuapi

"Kayak anak kecil aja kamu mel" kata ku dan memberikan sesendok bekal yang ia berikan, ke dalam mulutnya

"Leon, tutup mata mu" ujarnya secara tiba-tiba

"Ntar kalo aku tutup mata bekalku, kamu habisin" kata ku sewot

"Udah deh, percaya sama aku" ujarnya mencoba meyakinkan ku

*Ringgg* dan bel sekolah pun berbunyi, tanda jam istirahat telah usai

    Bekal itu masih tersisa setengah, dan ku putuskan untuk ku makan dengan cepat dan berlari untuk menyusul Melody. Hmmm, ada sedikit rasa hambar tapi hal ini tidak aku hiraukan dan langsung beranjak dari bangku di pinggiran lapangan itu.

*Sepulang Sekolah*

    Seusai memasukkan semua buku dan alat tulis, tiba-tiba Ayana, teman dekat Melody menghampiri ku
"Jadi, gimana on?" katanya secara tiba-tiba

"Gimana apanya?" kata ku balik bertanya pada dirinya

"Lho, bukanya Melody udah ngungkapin..." belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, perutku terasa mulas

"Eeeh, tunggu bentar" ujarku sambil berlari menuju kamar kecil

    Perasaan, aku nggak makan sesuatu yang aneh deh hari ini. Lalu aku mengingat-ingat lagi dan aku teringat bekal dari Melody.

*Tok*

"Leon, kamu kenapa?" ujar Melody dari luar kamar mandi

    Ada beberapa hal yang membuat diri ku bingung pada saat ini, yang pertama adalah apakah Melody memasukkan sesuatu yang aneh dalam bekal tadi? Dan yang kedua, bagaimana dia bisa masuk ke dalam kamar mandi cowok?

"Udah agak baikan kok!" teriakku dari dalam wc (walau perutku masih agak sakit sih)

"Kamu mau jawab sekarang apa kapan on?" tanyanya secara absurd

"Jawab apanya oi?" ujarku kebingungan

"Surat yang aku selipkan dalam kotak bekal, udah kamu baca?" tanyanya

     Jangan-jangan....... Aku makan surat yang dia beri? Wah, pantas saja aku merasa mulas.

"Eh, udah kok" ujarku

"Kamu bohong on" katanya lalu terdengar isak tangis dan ia meninggalkan tempat itu

    Aku pun berlari untuk mengejarnya walaupun rasa mulas masih sangat menyiksaku. Akhirnya aku berhasil mengejarnya sebelum ia sempat mencapai gerbang sekolah.

"Maaf mel, mungkin selama ini aku yang kurang peka" ujarku

"........." ia hanya terdiam saja

"Sebenarnya aku juga suka kamu tapi aku masih menunggu momen yang tepat" lanjutku

"......." ia masih terdiam

"Leon" katanya mulai berujar

"Ya? Jadi gimana? Kita jadian?" tanyaku agak over

"Ritsleting celana mu masih ke buka" katanya sambil tertawa lepas

"Kampret" kataku dengan singkat dan membetulkan ritsleting

    Tanpa lebih banyak kata, kami meninggalkan sekolah menggunakan sepeda dan ia membonceng di sisi belakang sepeda. Ia memelukku erat. Ku pikir sih dia sengaja, eh taunya malah tidur dan ngiler. Dobel kampret. Akhirnya aku sengaja bermanuver agar Melody bangun dan akhirnya ia terbangun.

"Eh Leon, kenapa sepedanya goyang-goyang?" katanya

    Aku hanya terdiam dan menoleh kepadanya. Kami berdua tersenyum, hingga sepeda kami terjerembab ke sawah, tripel kampret. Masih untung kami nggak luka tapi baju kami basah, sial.