Friday, September 27, 2013

My Little Story Part 1

          Senja kembali turun, bersama semua kegundahan hati yang perlahan meradang. “Masih adakah cintamu di hari esok untukku?” lamunku dalam hati. “Dapatkah aku membalik lembaran usang yang dinamakan catatan perjalanan cinta itu?” sambungku. “Mungkinkah aku dapat menghapus kabut yang bernama kegundahan dan kegalauan itu?” lanjutku. Memang banyak keraguan dalam hati kecilku, aku memiliki ketakutan dan ada secuil trauma yang masih tertinggal dalam lubuk hatiku sehingga aku memiliki asumsi bahwa kisah ini akan membekaskan kenangan pahit lagi.

          Semua trauma itu bermula dari masa SMP ku, masih segar dalam ingatanku pada saat pendaftaran ulang aku melihat seorang perempuan yang elok parasnya seperti diukir oleh mahadewa pemahat yang mahakuasa. Aku hanya terdiam dan memandang kearahmu tak bisa mengucapkan sepatah kata pun serasa kerlingan matamu itu mengisyaratkan padaku untuk memandangmu tanpa berkedip sedikitpun. Rambutmu yang hitam panjang tergulung dengan indahnya oleh sebuah jepit rambut yang menambah nilai estetika yang sudah dianugrahkan dewata pada dirimu. Momen ini mungkin tak pernah engkau sadari karena dirimu sibuk sendiri melihat papan pengumuman yang berwarna hijau itu dan tak sedetik pun menoleh ke tempatku berpijak dan memandang diriku.

          Dan masih teringat hari-hari dimana setelah aku menaruh tas punggung beserta beraneka macam barang yang dibutuhkan sebagai media untuk guru agar dapat menyampaikan ilmu yang akan mereka berikan kepada muridnya di kelas 7F dimana kelas 7F adalah kelas paling pojok, terpencil, dan kebanyakan berisi para murid yang sengaja di buang karena keyakinan agama nya merupakan minoritas dan para petinggi kaum mayoritas setuju untuk menempatkan kami disini. Tiba-tiba saja kamu datang dengan membawa tas biru (yang selalu ku kenang dalam perjalanan hidupku hingga kini) dan kamu langsung menaiki tangga. “Yes” pikirku pasti kamu kelas 7F dan itu berarti aku dan kamu seagama jadi kita dapat mudah menjalin relasi (“persetan dengan agama sekalipun agama aku dan kamu sama ternyata tidak akan menjamin kepastian hubungan dalam sebuah relasi” pikirku kini setelah jauh melangkah). Dan ternyata apa yang ku duga meleset namun tidak jauh ternyata kamu masuk kelas 7E. “Asyik, berarti kemungkinan dia juga hampir sama denganku” pikirku yang pada saat itu masih memiliki pola pemikiran yang kekanak-kanakan.

           Pagi itu adalah awal baru dalam hidupku setelah aku menyelesaikan pendidikan pada strata sekolah dasar, aku melanjutkan ke salah satu SMP yang terkenal karena keunggulannya baik dalam bidang kurikulum pendidikan maupun ekstrakurikuler khususnya basket dan SMP ini terletak di jalan RW Monginsidi 1 Yogyakarta. Tak dapat dipungkiri bahwa saat aku melihatmu naik, hati ini seakan-akan melonjak kegirangan. Aku seperti melihat sang rembulan, di kala malam mulai datang dan membawa hawa dingin dan kesepian namun semua itu terkalahkan oleh sang rembulan yang selalu mencoba menghangatkan malam-malamku. Tanpa sadar seminggu telah berlalu dan kejadian itupun masih sering terjadi di pagi hari dan tanpa bosan aku selalu mengikuti rutinitas yang sama walaupun harus menunggu dirimu sampai bel berbunyi dengan nyaringnya aku akan tetap menunggu hingga kamu masuk ke kelasmu namun jika aku melihat guru yang ingin memberikan ilmu sudah hampir masuk ke dalam kelasku maka aku akan segera masuk.

“Dab, aku nyileh bolpenmu oleh ra?(Bro, aku pinjam bolpoinmu boleh tidak?) ” kataku untuk menjalankan niatan awal memulai hubungan dengan pujaan hatiku.

“Nggo ngopo? (Untuk apa?)” tanya temanku

“Yo, tak silih sek mengko nek wes rampung yo tak balekke oleh ra? (Ya ku pinjam dulu nanti setelah selesai ku pakai pasti aku kembalikan boleh ku pinjam tidak?)” sambungku karena situasi saat itu adalah jam istirahat sebelum tambahan pelajaran siang di mulai.

“Ki, mok nggo sek mengko yen iso kok nggo wae tur yen wes rampung kok balekke lho (Ini, kamu pakai dulu kalau nanti bisa kamu pakai dahulu tapi kalau sudah selesai dipakai kembalikan padaku)” kata temanku seraya meminjamkan bolpoinnya kepadaku.

“Waduh bolpoinnya macet padahal bentar lagi surat ini jadi” pikirku.

          Aku bingung tapi surat itu tetap kulanjutkan dan isinya bahwa aku ingin mengenal lebih dekat tentang dirimu. Sebetulnya tujuan dari surat ini sederhana namun mungkin kamu salah tangkap atau menganggap bahwa surat ini adalah surat cinta dari orang aneh. Lalu surat itu kutitipkan pada temanku yang kebetulan satu kelas tambahan denganmu

          Pada waktu tambahan pelajaran kedua di mulai datanglah guru matematika yang sampai saat ini tak akan kulupakan karena gaya pengajarannya yang cepat namun dapat dengan mudah ku cerna. “Ndut, kamu tha yang membuat surat cinta untuk siswi dari kelas 7E itu?” suaranya membuyarkan konsentrasiku. “ Mampus nih, masak belum ada apa-apa guru udah tahu duluan?” pikirku. Namun saat aku menoleh untuk menjawab ternyata guru itu bertanya pada murid yang salah dan murid itu masih teman satu kelasku. “Selamat, ternyata reputasiku masih aman” karena hal itu aku tiba-tiba tertawa kecil seperti orang gila.

          “Ada apa nak?” tanya guru itu secara tiba-tiba kepada diriku. “Ndak ada apa-apa pak” jawabku setengah ketakutan. “Sudah selesai yang mengerjakan?” tanyanya lagi seperti hendak menginterogasi diriku. “Sudah pak” jawabku santai. Dan pada saat guru itu mendekati mejaku untuk mengecek hasil pekerjaan ku dia bertanya lagi “Kok bisa-bisanya kamu di masukkan ke kelas tambahan 7C bukan di 7A?” tanyanya lagi sambil memegang buku catatanku. Aku diam saja karena tidak tahu apakah guru ini memujiku atau malah mencibirku. Seusai tambahan pelajaran aku hendak langsung pulang namun tiba-tiba saja langkahku saat menuruni tangga di hentikan oleh seorang perempuan dan dia berkata “Namamu Kevin ya?” tanyanya. “Waduh ada apalagi ini?” pikirku. “Iya, ada apa ya?” jawabku. “Kamu yang membuat surat cinta itu kan?” tanyanya lagi. “Mampus, kayaknya di sekolah ini ada CCTV rahasia nih” pikirku lagi. “Kamu tahu nasib suratmu itu nggak?” tanyanya lagi dengan nada yang ku anggap mengejekku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menunggu reaksi darinya. “Coba cek tempat sampah di kelas 7B deh” suruhnya. Seperti celeng yang hidungnya diolesi balsam aku berlari lagi menaiki tangga dan menemukan sebuah sampah, ya satu-satunya sampah yang ada di sana ku pikir sampah itu masih baru sampai aku membuka kertas kumal itu. “Sialan, ini kan surat yang ku tulis kok bisa sampai di sini ya?” gumamku dalam batin. Aku turun tangga lagi dan saat aku melewati sekumpulan perempuan maupun laki-laki yang ku pikir masih satu angkatan denganku mereka berbisik-bisik yang suaranya dapat terdengar oleh telinga ku yang agak sensitif. “Eh, coba lihat itu loh ada anak kelas 7F yang ditolak” sambil tertawa mereka mengejekku.

          Kala itu cuaca mendung dan tetes demi tetes air mulai turun dari langit. Aku berpacu dengan waktu karena waktu itu agak gelap jadi pesan ibuku yang mengatakan “Kalau pulang naik angkot jurusan 23” tapi karena keadaan saat itu membuatku kalap aku langsung naik angkot tanpa melihat jalur yang tertera pada bagian depan angkot itu. Sesampai di dalam angkot aku bertanya pada salah satu teman kelas 7F “ Ini jalur berapa ya?”. “D2” jawabnya. “Mampus udah ditolak, kehujanan, salah naik angkot lagi” pikirku. “Yah, semoga saja nanti saat di perempatan Monumen Jogja Kembali cuaca sudah terang” sambungku. Dan benar saja pada saat turun dari angkot cuaca sudah mulai terang. Lalu aku menunggu angkot dengan berjalan kaki ke arah utara dan akhirnya ada satu yang lewat dan langsung ku kejar. “Semoga saja besok saat masuk ke sekolah kejadian hari ini tidak menjadi gosip di seantero sekolahan” doaku seraya mencium aroma tanah basah dari arah luar angkot.