Sunday, November 24, 2013

Secangkir Cinta dalam Sunyi

          Pagi itu seperti biasanya, perempuan itu duduk di bangku yang terletak di sebelah peron itu. Seakan-akan menanti seorang kekasih yang entah kapan akan kembali. Aku hanya bisa termenung dan memandang ke arahnya tanpa berani menyapa dirinya

"Mas, ada espresso tidak?" tanya seorang bapak tengah baya dengan sopan yang mengembalikanku ke realita.

"Wah, maaf pak kedai ini baru mau di buka" jawabku

"Oh, ya sudah" kata pria itu sambil berlalu

            Sudah kebiasaanku untuk menghabiskan pagi ku di stasiun itu, karena aku harus membuka kedai kecil yang lusuh ini. Perempuan itu selalu duduk di tempat yang sama setiap pagi dan orang berlalu lalang sambil menyapanya dan ia hanya bisa tersenyum untuk membalas sapa tiap orang. Pagi berganti menjadi siang dan kedai ini telah penuh sesak oleh banyak pelanggan yang selalu berdatangan untuk membeli segelas penyegar untuk dahaga mereka. 

     Tiba-tiba terdengar suara lonceng tanda ada pelanggan baru yang datang, "Selamat datang" sapaku ramah seraya menyerahkan daftar menu kepada pelanggan dan memberi kode untuk salah satu rekan kerjaku untuk mencatat apa yang diinginkan oleh pelanggan yang ku tinggalkan itu. Dia mulai melangkah maju dan tak ku sangka bahwa pelanggan baru itu adalah perempuan yang biasa duduk di pojokan peron stasiun. "Mau pesan apa?" tanyaku seraya menunjukkan daftar menu yang baru saja ku ambil dari konter. 

      Dia tidak menjawab hanya menunjuk salah satu menu yang ada dan aku kembali menanyakan apakah ada tambahan lain dia hanya menggelengkan kepala. Setelah aku memberikan menu yang telah dipesan kepada barista yang telah siap sedia di samping mesin kopi, aku beranjak dan siap untuk menerima pesanan namun aku merasa seakan-akan aku pernah mengalami situasi seperti ini dan benar saja ketika aku melihat ke arah perempuan itu aku melihat dia duduk di tempat dimana aku menemukan cinta pertama ku. 

        Rasanya baru kemarin saja aku bertemu dengan cinta pertamaku, walau sebenarnya peristiwa itu sudah lama terjadi. Perempuan itu sangat mirip dengan cinta pertamaku, rambutnya bahkan harum tubuhnya membangkitkan memori yang bahkan hampir memfosil di dalam benakku.

        Masih ku ingat hari itu, hujan turun dengan perlahan dan mentari masih urung menunjukkan senyumnya. Aku hanya diam dipinggir konter sembari membaca novel yang tidak ku baca dengan sungguh-sungguh karena aku hanya ingin mengusir kesepian yang datang bersama dengan hujan yang mengguyur. Jam menunjukkan angka delapan, seharusnya kedai ini semakin ramai namun kenyataannya sedari tadi pagi jumlah pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari tangan. Para pegawai pun mulai meninggalkan kedai ini karena ku pikir tak akan ada pelanggan lagi untuk hari ini. Tanpa ku sadari pintu kedai terbuka, ku pikir hanya angin malam yang secara tidak sengaja membuka pintu tersebut namun ternyata yang membuka pintu itu adalah seorang pelanggan yang parasnya amatlah cantik. "Maaf mbak, tapi kedai ini baru saja akan tutup" namun kataku itu hanya ku pendam dalam hati setelah ku cermati dengan seksama bahwa perempuan itu basah karena hujan yang mengguyurnya dengan kejamnya.
   
"Mau pesan apa mbak?" tawarku sekalipun tinggal kami berdua yang ada di kedai itu tanpa adanya pegawai lain yang biasa meracik kopi.

"Ada latte nggak mas?" tanyanya.

"Ada, tunggu sebentar ya mbak" jawabku sembari tersenyum padanya dan mencoba membuat latte pertamaku.

        Sesampainya di tempat meracik kopi aku binggung setengah mati karena yang biasanya mercaik kopi atau biasa disebut barista sudah pulang namun ada satu yang ku ingat dari perkataanya ketika aku bertanya padanya tentang bagaimana meracik kopi dengan komposisi yang pas dia hanya menjawab bahwa cara membuat racikan yang pas adalah dengan cinta.

"Mampus deh, cinta? Tapi masa hanya dengan cinta dapat membuat komposisi yang nikmat bagi pencicipnya?" Aku mulai ragu dengan diriku sendiri.

"Mas, itu yang di depan siapa ya? Pelanggan bukan?" kata barista yang ternyata belum pulang dan mengagetkan ku setengah mati.

"Iya mas, yakin hanya dengan cinta dapat membuat racikan yang pas?" tanyaku.

"Yakin aja mas" jawabnya sambil tersenyum.

        Setelah selesai menyiapkan bahan, meracik bahan, dan latte pertamaku siap untuk disajikan aku langsung membawanya di atas nampan. Dengan hati-hati dan perlahan aku berjalan menuju tempat pelanggan sekaligus cinta pertamaku, suasana malam yang mulai terasa dingin dan bulan yang perlahan mulai memancarkan sinarnya menemani kita berdua.

"Ini mbak lattenya, mbaknya keberatan tidak saya duduk di sebelah mbak?" tanyaku

"Nggak" jawabnya sekaligus tersenyum yang menambah romantisme malam itu

        Tiba-tiba barista lewat meninggalkan aku dan dirinya sambil mengacungkan jari jempolnya padaku dan ku sadari bahwa cinta pertama ku juga melihat kejadian itu tertawa kecil seakan menganggap kejadian itu lucu baginya.

"Lattenya enak nggak?" tanyaku mengawali percakapan itu

"Lumayan mas" jawabnya

"Lumayan gimana mbak? lumayan buruk ya hehehehe?" candaku

"Nggak mas?" katanya sambil tersenyum

        Aku dan dia menghabiskan malam itu dengan canda dan tawa menghangatkan suasana malam yang melenakan kita berdua. Hari demi hari berlalu cinta pertamaku selalu datang berkunjung entah hanya menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang denganku maupun bercanda ria dengan diriku. Pada akhirnya aku mengungkapkan perasaan yang sebenarnya sudah ada padaku sejak awal kita bertemu. Awalnya dia tidak menjawabnya dan mencoba mengalihkan topik yang ku anggap bahwa dia menolak rasa yang telah ku ungkapkan. Yah, namun semua itu hanya asumsi dariku karena perlahan-lahan dia mulai jarang mengunjungi kedai kecil ini.

        Tiba-tiba datanglah sepucuk surat dan setangkai bunga mawar yang entah dari siapa. Ku baca surat itu dengan perlahan dan tak terasa bahwa air mata ini mulai mengalir.

"Maaf, bukan maksud hatiku untuk menolak maupun mengabaikan perasaan yang kau berikan padaku namun satu hal yang perlu kau tahu bahwa sulit bagiku untuk membuka hatiku lagi setelah peristiwa kelam yang pernah aku alami sebelumnya dan menikmati waktu-waktu yang ku habiskan denganmu semua itu sangat berharga bagiku dan perasaan ini layaknya bunga mawar yang dapat mekar dengan indahnya namun duri yang ia miliki dapat dengan tajam menusuk diriku" begitulah sepenggal isi dari surat itu.

        Semua itu terasa memberatkan bagi hatiku, namun apapun yang terjadi dunia masih akan terus berputar dan aku tidak bisa selalu terkungkung dalam satu titik sekalipun itu adalah titik dimana aku mengalami depresi terbesar yang pernah ku alami.

        Dugaanku tak pernah salah walaupun ku pikir itu hanya perasaanku saja. Namun, harus berapa lama lagi aku menunggu? Harus berapa banyak lagi air mata yang harus terus menetes? Pada akhirnya aku melihat lagi sosok yang sama seperti yang dulu pernah mengisi hari-hariku tapi apakah cerita itu akan kembali terulang? Mampukah aku membuka pintu hati yang telah lama tersegel?

"Mas, mas cappuccino nya sudah siap" kata barista sambil menepuk pundakku

"O yaudah mas, ini pesanannya siapa ya?" tanyaku kepada barista itu

"Mikirin yang dulu lagi ya mas? menurutmu ini apa mas?" balas barista itu seraya mendekatkan cappuccino ke arahku

       Aroma hangat yang bercampur dengan susu yang sangat manis, mengembalikan fokusku yang sempat buyar karena melihat perempuan itu. Setelah memindahkan cappuccino dari tangan sang barista ke nampan yang sudah ku persiapkan, aku menuju ke tempat dimana perempuan itu duduk. Ku pandangi wajahnya yang mengarah ke luar jendela memperhatikan hujan yang turun dengan perlahan bersamaan dengan air matanya yang juga mengalir dengan perlahan. "Mbak ini cappuccino nya" kataku dengan sopan seolah-olah tidak melihat peristiwa singkat itu. Ia mulai menyeka bulir-bulir air mata yang menghiasi pipinya dan tersenyum kepadaku seakan-akan menunjukkan secercah sinar diantara kegalauan yang ia alami. "Ada apa mbak?" tanyaku karena rasa ingin tahu yang timbul secara tiba-tiba. Ia hanya menggelengkan kepala yang menandakan dia baik-baik saja namun sorot matanya mengatakan ada hal lain.

      Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu hidupnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang ku unggap mengusik kehidupan pribadinya, namun lagi-lagi rasa ingin tahu ku lebih besar dari rasa malu ku untuk menanyakan hal itu. Ia memulai membuka mulutnya ku kira ia hendak berbicara namun ternyata ia langsung menutup mulutnya dengan tangannya. Ia mulai membuka tas yang sedari tadi ia bawa dan mengeluarkan sebuah catatan kecil dan alat tulis dan menuliskan kata "Hai, siapa namamu" dan memberikan catatan nya kepada ku "Kevin, kamu ?" tulisku seraya mengembalikkan catatan kecil itu padanya “Mika”. Aku dan dia menghabiskan senja di temani dengan para pelanggan yang berlalu lalang dan perlahan di ikuti oleh para pegawai menyisakan aku dan dia yang bercanda tawa di temani oleh berlembar-lembar catatan yang penuh terisi dengan coretan-coretan yang tersusun sedemikian rupa yang menyampaikan perasaan yang ada di dalam diriku dan dirinya dan kita menyampaikannya lewat lembaran-lembaran kertas.

      Ada sebuah perasaan yang sempat mengganjal dalam batinku dan pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di dalam otak ku namun semua itu hanya ku pendam tanpa berani mengungkapkannya karena ku rasa hal itu akan mengusik dirinya dan membuatnya menjauh dariku. Hari mulai berganti, tiap pagi ia mulai menyapa ku dengan caranya yang unik yaitu menepuk pundak ku dan tersenyum kepadaku seakan-akan kita telah berkenalan sejak lama. Ia mulai rajin mengunjungi kedai ku dan berhenti meninggalkan kebiasaan lamanya yaitu berdiam diri sembari duduk di bangku di pinggir peron itu. Sebenarnya aku cukup senang dia sering mengunjungi kedai kecil ini sekalipun ia tak memesan apapun dari daftar menu. Tapi ada satu hal yang aku takutkan bahwa tragedi yang pernah terjadi dalam hidupku akan terulang kembali. 

       Namun pagi itu tidak seperti biasanya, dia tidak datang ke kedai ini bahkan semenjak pagi tadi tak ku lihat dirinya ada di stasiun ini. "Adakah sesuatu terjadi padanya?" pikirku sembari mulai membuka kedai kecil ini dan membalik tanda tutup menjadi buka. Walapun hujan namun akhir-akhir ini kedai tidak pernah sepi oleh pengunjung karena adanya menu baru yang cukup menarik bagi mereka. Sepanjang hari itu hujan turun dengan derasnya seakan-akan hendak mengulang peristiwa yang pernah terjadi, senja kembali turun dan kabut kembali datang dengan perlahan dan pengumuman keberangkatan dan kedatangan sudah berhenti berkumandang. 

      Petugas yang berkerja di stasiun, biasanya datang ke kedai ini pun sudah tidak ada yang datang lagi dan jumlah pelanggan mulai berkurang lagi malam itu pertanda bahwa kedai sudah harus ditutup. Hujan telah reda meninggalkan suasana malam mulai terasa dengan hawa dingin yang menusuk tulang, bulan pun seakan-akan tidak ingin menampilkan senyumnya. Seakan-akan hanya aku sendiri di semesta yang luas ini, tanpa adanya seorang pun yang menemaniku menghalau kesepian yang secara tiba-tiba menyerang seluruh persendian ku. Aku berharap dia hadir menemani diriku entah hanya sekedar melepas penat dengan menuliskan segala suatu yang ku rasakan pada dirinya melalui kertas-kertas yang ada dalam catatan kecilnya. Tak ku duga apa yang ku harapkan menjadi sebuah kenyataan dia datang namun ada sebuah kejanggalan yang aku rasakan, biasanya ia selalu membawa tas namun kali ini ia tidak membawanya dan menimbulkan sebuah pertanyaan besar pada diriku “Mengapa, ia tidak membawanya? Apakah ada sebuah alasan di balik tingkah lakunya yang janggal akhir-akhir ini?”

“Uhm, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu” katanya memulai percakapan, aku dulu sempat berpikir bahwa Mika memiliki sebuah alasan di balik kebungkaman dirinya.

“Eh, ada apa ya mik?” tanyaku setengah takjub tak percaya akhirnya Mika berbicara padaku

“Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ku bicarakan kepada mu sejak dari dulu” katanya

“Tentang apa ya?” tanyaku menanyakan tujuan dari kedatangannya yang mengejutkan diriku

“Aku...” dia tidak melanjutkan kata-katanya dan langsung berlalu ke arahku dan memeluk diriku seraya menangis dan mengatakan “Aku cinta padamu”.

Saturday, November 23, 2013

Pertanyaan yang Tercipta

Untuk: Seseorang yang dekat namun terasa jauh

     Ku titipkan kado terindah untukmu, kado yang tersusun dari jutaan rasa suka dan air mata. Kado terindah yang bisa ku berikan untukmu sebagai ungkapan sesal dan rasa bersalah yang ku pendam. Semua perasaan ku ku curahkan ke dalam kado terindah yang dapat ku berikan padamu walaupun berjuta air mata telah jatuh ke bumi namun sudah aku maklumi semua itu. Adakah engkau merasa apa yang ku rasa? Ketika perasaanku yang telah ku sampaikan padamu berakhir tanpa sebuah alasan yang ku anggap tidak jelas. Sebenarnya aku ingin mengungkapkan semua perasaan yang ada di dada namun aku hanya dapat menyimpannya dan menjejalkannya ke dalam kado ini, meskipun apa yang terlihat tak seindah yang kau bayangkan namun inilah realitanya. 
     
     Satu hal yang ku takutkan setelah hari ini adalah ketika aku tak bisa melihat parasmu yang ayu lagi yang bagi ku cukup untuk sejenak menghilangkan semua masalah yang ada di pundakku. Aku sering ber-euforia memikirkan dirimu sebagai seorang yang dapat benar benar mengobati hati ku yang terluka. Ingatkah kau tentang kejadian di depan benteng Vredeburg? Sebenarnya peristiwa itu selalu teringat dalam pikiran ku tak mau hilang dari benakku ketika sesosok perempuan yang ku anggap sempurna akhirnya dapat berbicara denganku. 

     Dan ingatkah dirimu ketika kita mulai saling berkirim pesan? Ku rasakan semua yang engkau tuliskan berbeda dengan apa yang selalu kau lakukan. Engkau dapat bercanda ria melewati seluruh pesan yang aku kirimkan kepadaku, namun ketika ku lihat dirimu di saat kita berdinamika bersama dirimu, engkau hanya dapat bercanda dan tertawa lepas ketika dirimu sedang bersama teman-teman mu. Aku ingin melihat dirimu tersenyum lagi seperti dahulu kala walaupun hanya sekejap mata namun itu sangat berharga bagiku.

     Temanku, adakah kita dapat bertemu lagi di kemudian hari? Mungkinkah waktu akan mengijinkan diriku untuk berjumpa dengan dirimu? Dapatkah aku berkirim pesan lagi tanpa ada perasaan yang membebani diriku dan dirimu? Aku tak yakin tahun depan kita akan dipersatukan dalam lingkaran ini lagi, sekalipun kita masih dapat bersama aku ragu kau akan membuka pintu hati yang tertutup bagiku.

Tuesday, November 5, 2013

Jejak yang Mulai Sirna

          9 September 2013, Jalan Malioboro menjadi saksi bisu awal mula dari perkenalan dua insan manusia yang berawal dengan senyuman namun berakhir dengan deraian air mata walau tak nampak bagimu.
         
         Sedikit percakapan, ku tatap matanya dengan segenap jiwaku mencoba memberanikan diri walau ku lihat bahwa kau mulai berpikir bahwa aku sedikit canggung. Ya, ku akui memang aku canggung, aku penakut, aku tak pantas untuk kau jadikan sebagai suatu bagian dari kisah bahagiamu. Namun tidakkah engkau memperhatikan kegundahan hati ini pada saat awal kita berjumpa? Tidakkah kau lihat nanar mata penuh harapan itu? Apakah engkau melihat apa yang ada dalam hati ini?
       
         Walaupun aku tahu semua ini hanya akan bermuara pada hal yang sama, cerita yang terulang lagi dan lagi, Trauma akan kegagalan yang selalu menghantui ku mulai mewujud dan timbullah suatu pertanyaan dalam hatiku : “Vin, kamu nggak kapok gagal terus?” Setan itu bertanya dan tertawa terbahak-bahak. “Nggak, kali ini ku yakin aku bisa!” Jawab seorang Kevin yang naif dan penuh percaya diri yang berlebihan. “Bodoh kamu!” Teriakku kini bila mengingat aku yang dulu. “Huh, dasar orang yang selalu luput! Udahlah nggak usah kamu kejar lagi dia! Lihatlah dia tidak pernah mencoba membuka dirinya padamu!” Kelakar Iblis dalam diriku.
      
        Mungkin awalnya terasa bahagia, setelah aku mendapat nomor telepon dari dia yang ku pikir akan menjadi cinta terakhirku (Bullshit!) aku dan dia mulai saling berkirim pesan.

10 September 2013

“Hai, ingat aku nggak” tulisku yang ku anggap agak aneh memang

“Siapa?” balasmu, hampir saja aku frustasi menunggu pesan darimu yang sudah hampir tiga jam tak kunjung datang-datang

“Hayo coba ditebak” godaku

“Ini nomer’a siapa? Sorry hahaha” balasmu secara singkat.

“Yang kemarin di Jalan Malioboro minta nomer sapa? Masak lupa?” tanyaku untuk menjawab pertanyaan itu

“Ooh, leon kevin?” ingatmu

“Bukan, namaku bukan leon kevin” balasku untuk mengklarifikasi hal itu

“Leon waktu di sekolah. Kevin waktu teater, kalo waktu di rumah apa dong? ckckckckck” tanggapmu

“Sms ku yang kemarin-kemarin sampai nggak?” tanyaku lagi

“Kemarin malam baru liat terus lupa nggak ku bales, hehehehe. Kamu asli Yogyakarta?” tanyamu agak 
penasaran

“Iya, btw what’s app lagi mu error ya?” tanyaku agak berbasa-basi

“Iyaa, kamu SMP dimana?” tulismu, menanyakan latar belakang dari masa laluku

“SMPN 6 Yogya, kamu?”
***
          Sore itu terasa sangat cepat berlalu, aku ingin agar hati-hari selanjutnya selalu sama. Yah, tapi ini realita yang harus terjadi tidak akan terulang tidak akan kembali hanya dapat terkenang menjadi selembar tipis coretan tinta yang ditorehkan dengan indah darimu untukku.

             Hari demi hari berganti hingga tak terasa sudah beranjak dan mulai kujalani hari dengan ceria berkat dirimu. 28 September 2013 adalah hari yang ku rasa jarak antara diriku dan dirimu semakin dekat, aku mulai memperkenalkan keluarga ku, begitu juga dirimu. Dan kau dan aku bercanda ria bercerita kesana kemari pada tanggal 29 September yang terasa baru kemarin hal itu terjadi, adakah kau merasakan hal yang sama seperti yang ku rasakan?

         Orang yang sedang dimabukkan oleh perasaan cinta jarang menggunakan otaknya untuk berpikir secara logis. Ku kira aku dapat mempercayai semua yang engkau bisikkan kepadaku ku kira semua yang kau katakan benar adannya namun apa mau dikata? Manusia tidaklah sempurna! Dan kau mulai berbohong kepadaku dan yang membuat hati ini lebih tercabik, kebohongan mu ku ketahui dari orang lain! Bukan dari bibir manismu yang selalu tersenyum di akhir percakapan kita.

          Perasaan suka padamu yang ada dalam diri ini semakin hari semakin menggebu-gebu dan tahukah kamu pada saat teman-temanku mulai menghinaku karena candaanku tentang dirimu, aku coba bertahan dalam kondisi bimbang. “Hai, luput” begitu cara mereka memanggil ketua kelas mereka. Aku tidak peduli karena yang ku dengar berbeda dengan apa yang orang-orang ucapkan, mereka mengatakan seperti itu namun ku rasa mereka mengatakan “Gimana keadaan orang yang kamu sukai eon? Udah di bales belum sms nya yang kemarin-kemarin?” (Pada mulanya)

           Perasaan ku mengatakan padaku bahwa aku perlu melakukan inovasi supaya memudahkan ku untuk menyampaikan perasaan yang ku miliki untuk dirimu.

“Halo, din” kataku sambil memukul transmitter antena televisi yang menampilkan gambar yang kurang fokus.

“Tumben telepon ada apa’e?” tanyamu

“Nggak papa cuma iseng aja, gimana anak asrama malmingnya?” tanyaku mendengar riuh orang-orang di ujung telepon sana

“Ya, nonton tipi kalo kamu?” balasmu

“Sama sih, jomblo soalnya” jawabku sedikit bercanda

“Eh, udah ya pengen ngelanjutin nonton dulu ya” jawabmu

“Ya udah mesti nonton OVJ kan?” balasku dengan naifnya

“Kok tahu’e?” katamu agak bingung

“Lha, di sini juga sama ya udah lanjutin aja nontonnya” jawabku

          Ada yang bilang orang menahan rasa suka itu seperti menahan kentut, bahkan yang agak membuat diri ini sempat berefleksi adalah ketika kamu manahan rasa itu berarti kamu tidak bersikap layaknya ksatria, padahal ngakunya di sekolah di ajarkan bagaimana menjadi laki-laki. “Ash, ini udah harus di ungkapin nggak mungkin nunggu lama lagi” pikirku mulai menggila setelah menyadari bahwa aku sudah mencoba menjalin hubungan itu selama satu setengah bulan dan aku pikir itu waktu yang cukup lama. “Tapi bukankah perlu strategi dan rencana yang matang?” tanya diriku yang satunya.

        Dan pada akhirnya aku mengatakan perasaan suka di senja pada hari Minggu, namun saat ku lihat raut wajahmu yang selalu tak dapat ku tebak aku mulai ragu kau akan menerimaku. “Maaf, vin tapi mending kita fokus dulu sama apa yang kita jalani sekarang” katamu. “Anjing, kenapa semua ini harus terjadi setelah apa yang kita lewati bersama?” tanyaku dalam hati. “Jawaban atas perasaanku aku tunggu sampai semua dinamika ini selesai ya?” pintaku. “Ya” jawabmu memberikan secercah harapan bagiku.

        Datanglah hari dimana semua ini mulai berakhir, semua itu berawal ketika aku membuka sms darimu dan engkau menuliskan “Vin, jujur-jujuran wae yo mending kamu jangan ada rasa sama aku.” Semua ini berakhir, ya trauma ku kembali terulang? Tidak ! masa laluku hanya sebatas masa lalu sedangkan ini adalah realita yang harus ku jalani kini. Dan ketika teman-temanku menyerukan kata “luput” padaku aku hanya bisa menjerit, menangis, meratapi kegagalan ini. Mungkin ini bukan salahmu mungkin ini adalah salahku yang terlalu memberi pengharapan tinggi padamu dan ketika aku melihatmu bercanda dan tertawa dengan seseorang yang ku kenal sebagai penjual dagangan itu aku hanya bisa berpikir “Asu vin, kwe kalah karo wong koyo ngono”


        Yah, tapi biarkanlah masa lalu berlalu cinta datang cinta pergi tak pernah berhenti di suatu titik pasti mobilitas selalu terjadi entah dengan konflik pikiran maupun batin entah dengan tetesan keringat dingin maupun air mata dan perasaan ini masih ada untukmu selalu menantimu di saat engkau siap melihat apa yang ada dalam diriku namun masih ada sebersit pertanyaan besar yang mengganjal pada diriku yaitu: “Apa alasanmu menghentikan semua ini?” Cinta, air mata, dan duka selalu berkeliling di sekitarku kegagalan sudah biasa kemenangan hanya Tuhanlah yang tahu siapa yang akhirnya akan menjadi jodohku, cinta hanya bisa diusahakan tidak bisa dipaksakan!.