Tuesday, November 5, 2013

Jejak yang Mulai Sirna

          9 September 2013, Jalan Malioboro menjadi saksi bisu awal mula dari perkenalan dua insan manusia yang berawal dengan senyuman namun berakhir dengan deraian air mata walau tak nampak bagimu.
         
         Sedikit percakapan, ku tatap matanya dengan segenap jiwaku mencoba memberanikan diri walau ku lihat bahwa kau mulai berpikir bahwa aku sedikit canggung. Ya, ku akui memang aku canggung, aku penakut, aku tak pantas untuk kau jadikan sebagai suatu bagian dari kisah bahagiamu. Namun tidakkah engkau memperhatikan kegundahan hati ini pada saat awal kita berjumpa? Tidakkah kau lihat nanar mata penuh harapan itu? Apakah engkau melihat apa yang ada dalam hati ini?
       
         Walaupun aku tahu semua ini hanya akan bermuara pada hal yang sama, cerita yang terulang lagi dan lagi, Trauma akan kegagalan yang selalu menghantui ku mulai mewujud dan timbullah suatu pertanyaan dalam hatiku : “Vin, kamu nggak kapok gagal terus?” Setan itu bertanya dan tertawa terbahak-bahak. “Nggak, kali ini ku yakin aku bisa!” Jawab seorang Kevin yang naif dan penuh percaya diri yang berlebihan. “Bodoh kamu!” Teriakku kini bila mengingat aku yang dulu. “Huh, dasar orang yang selalu luput! Udahlah nggak usah kamu kejar lagi dia! Lihatlah dia tidak pernah mencoba membuka dirinya padamu!” Kelakar Iblis dalam diriku.
      
        Mungkin awalnya terasa bahagia, setelah aku mendapat nomor telepon dari dia yang ku pikir akan menjadi cinta terakhirku (Bullshit!) aku dan dia mulai saling berkirim pesan.

10 September 2013

“Hai, ingat aku nggak” tulisku yang ku anggap agak aneh memang

“Siapa?” balasmu, hampir saja aku frustasi menunggu pesan darimu yang sudah hampir tiga jam tak kunjung datang-datang

“Hayo coba ditebak” godaku

“Ini nomer’a siapa? Sorry hahaha” balasmu secara singkat.

“Yang kemarin di Jalan Malioboro minta nomer sapa? Masak lupa?” tanyaku untuk menjawab pertanyaan itu

“Ooh, leon kevin?” ingatmu

“Bukan, namaku bukan leon kevin” balasku untuk mengklarifikasi hal itu

“Leon waktu di sekolah. Kevin waktu teater, kalo waktu di rumah apa dong? ckckckckck” tanggapmu

“Sms ku yang kemarin-kemarin sampai nggak?” tanyaku lagi

“Kemarin malam baru liat terus lupa nggak ku bales, hehehehe. Kamu asli Yogyakarta?” tanyamu agak 
penasaran

“Iya, btw what’s app lagi mu error ya?” tanyaku agak berbasa-basi

“Iyaa, kamu SMP dimana?” tulismu, menanyakan latar belakang dari masa laluku

“SMPN 6 Yogya, kamu?”
***
          Sore itu terasa sangat cepat berlalu, aku ingin agar hati-hari selanjutnya selalu sama. Yah, tapi ini realita yang harus terjadi tidak akan terulang tidak akan kembali hanya dapat terkenang menjadi selembar tipis coretan tinta yang ditorehkan dengan indah darimu untukku.

             Hari demi hari berganti hingga tak terasa sudah beranjak dan mulai kujalani hari dengan ceria berkat dirimu. 28 September 2013 adalah hari yang ku rasa jarak antara diriku dan dirimu semakin dekat, aku mulai memperkenalkan keluarga ku, begitu juga dirimu. Dan kau dan aku bercanda ria bercerita kesana kemari pada tanggal 29 September yang terasa baru kemarin hal itu terjadi, adakah kau merasakan hal yang sama seperti yang ku rasakan?

         Orang yang sedang dimabukkan oleh perasaan cinta jarang menggunakan otaknya untuk berpikir secara logis. Ku kira aku dapat mempercayai semua yang engkau bisikkan kepadaku ku kira semua yang kau katakan benar adannya namun apa mau dikata? Manusia tidaklah sempurna! Dan kau mulai berbohong kepadaku dan yang membuat hati ini lebih tercabik, kebohongan mu ku ketahui dari orang lain! Bukan dari bibir manismu yang selalu tersenyum di akhir percakapan kita.

          Perasaan suka padamu yang ada dalam diri ini semakin hari semakin menggebu-gebu dan tahukah kamu pada saat teman-temanku mulai menghinaku karena candaanku tentang dirimu, aku coba bertahan dalam kondisi bimbang. “Hai, luput” begitu cara mereka memanggil ketua kelas mereka. Aku tidak peduli karena yang ku dengar berbeda dengan apa yang orang-orang ucapkan, mereka mengatakan seperti itu namun ku rasa mereka mengatakan “Gimana keadaan orang yang kamu sukai eon? Udah di bales belum sms nya yang kemarin-kemarin?” (Pada mulanya)

           Perasaan ku mengatakan padaku bahwa aku perlu melakukan inovasi supaya memudahkan ku untuk menyampaikan perasaan yang ku miliki untuk dirimu.

“Halo, din” kataku sambil memukul transmitter antena televisi yang menampilkan gambar yang kurang fokus.

“Tumben telepon ada apa’e?” tanyamu

“Nggak papa cuma iseng aja, gimana anak asrama malmingnya?” tanyaku mendengar riuh orang-orang di ujung telepon sana

“Ya, nonton tipi kalo kamu?” balasmu

“Sama sih, jomblo soalnya” jawabku sedikit bercanda

“Eh, udah ya pengen ngelanjutin nonton dulu ya” jawabmu

“Ya udah mesti nonton OVJ kan?” balasku dengan naifnya

“Kok tahu’e?” katamu agak bingung

“Lha, di sini juga sama ya udah lanjutin aja nontonnya” jawabku

          Ada yang bilang orang menahan rasa suka itu seperti menahan kentut, bahkan yang agak membuat diri ini sempat berefleksi adalah ketika kamu manahan rasa itu berarti kamu tidak bersikap layaknya ksatria, padahal ngakunya di sekolah di ajarkan bagaimana menjadi laki-laki. “Ash, ini udah harus di ungkapin nggak mungkin nunggu lama lagi” pikirku mulai menggila setelah menyadari bahwa aku sudah mencoba menjalin hubungan itu selama satu setengah bulan dan aku pikir itu waktu yang cukup lama. “Tapi bukankah perlu strategi dan rencana yang matang?” tanya diriku yang satunya.

        Dan pada akhirnya aku mengatakan perasaan suka di senja pada hari Minggu, namun saat ku lihat raut wajahmu yang selalu tak dapat ku tebak aku mulai ragu kau akan menerimaku. “Maaf, vin tapi mending kita fokus dulu sama apa yang kita jalani sekarang” katamu. “Anjing, kenapa semua ini harus terjadi setelah apa yang kita lewati bersama?” tanyaku dalam hati. “Jawaban atas perasaanku aku tunggu sampai semua dinamika ini selesai ya?” pintaku. “Ya” jawabmu memberikan secercah harapan bagiku.

        Datanglah hari dimana semua ini mulai berakhir, semua itu berawal ketika aku membuka sms darimu dan engkau menuliskan “Vin, jujur-jujuran wae yo mending kamu jangan ada rasa sama aku.” Semua ini berakhir, ya trauma ku kembali terulang? Tidak ! masa laluku hanya sebatas masa lalu sedangkan ini adalah realita yang harus ku jalani kini. Dan ketika teman-temanku menyerukan kata “luput” padaku aku hanya bisa menjerit, menangis, meratapi kegagalan ini. Mungkin ini bukan salahmu mungkin ini adalah salahku yang terlalu memberi pengharapan tinggi padamu dan ketika aku melihatmu bercanda dan tertawa dengan seseorang yang ku kenal sebagai penjual dagangan itu aku hanya bisa berpikir “Asu vin, kwe kalah karo wong koyo ngono”


        Yah, tapi biarkanlah masa lalu berlalu cinta datang cinta pergi tak pernah berhenti di suatu titik pasti mobilitas selalu terjadi entah dengan konflik pikiran maupun batin entah dengan tetesan keringat dingin maupun air mata dan perasaan ini masih ada untukmu selalu menantimu di saat engkau siap melihat apa yang ada dalam diriku namun masih ada sebersit pertanyaan besar yang mengganjal pada diriku yaitu: “Apa alasanmu menghentikan semua ini?” Cinta, air mata, dan duka selalu berkeliling di sekitarku kegagalan sudah biasa kemenangan hanya Tuhanlah yang tahu siapa yang akhirnya akan menjadi jodohku, cinta hanya bisa diusahakan tidak bisa dipaksakan!.