9 September 2013, Jalan Malioboro
menjadi saksi bisu awal mula dari perkenalan dua insan manusia yang berawal
dengan senyuman namun berakhir dengan deraian air mata walau tak nampak bagimu.
Sedikit percakapan, ku tatap matanya
dengan segenap jiwaku mencoba memberanikan diri walau ku lihat bahwa kau mulai
berpikir bahwa aku sedikit canggung. Ya, ku akui memang aku canggung, aku
penakut, aku tak pantas untuk kau jadikan sebagai suatu bagian dari kisah
bahagiamu. Namun tidakkah engkau memperhatikan kegundahan hati ini pada saat
awal kita berjumpa? Tidakkah kau lihat nanar mata penuh harapan itu? Apakah
engkau melihat apa yang ada dalam hati ini?
Walaupun aku tahu semua ini hanya akan
bermuara pada hal yang sama, cerita yang terulang lagi dan lagi, Trauma akan
kegagalan yang selalu menghantui ku mulai mewujud dan timbullah suatu
pertanyaan dalam hatiku : “Vin, kamu nggak kapok gagal terus?” Setan itu
bertanya dan tertawa terbahak-bahak. “Nggak, kali ini ku yakin aku bisa!” Jawab
seorang Kevin yang naif dan penuh percaya diri yang berlebihan. “Bodoh kamu!”
Teriakku kini bila mengingat aku yang dulu. “Huh, dasar orang yang selalu
luput! Udahlah nggak usah kamu kejar lagi dia! Lihatlah dia tidak pernah
mencoba membuka dirinya padamu!” Kelakar Iblis dalam diriku.
Mungkin awalnya terasa bahagia,
setelah aku mendapat nomor telepon dari dia yang ku pikir akan menjadi cinta
terakhirku (Bullshit!) aku dan dia mulai saling berkirim pesan.
10 September 2013
“Hai, ingat aku nggak” tulisku
yang ku anggap agak aneh memang
“Siapa?” balasmu, hampir saja aku
frustasi menunggu pesan darimu yang sudah hampir tiga jam tak kunjung
datang-datang
“Hayo coba ditebak” godaku
“Ini nomer’a siapa? Sorry hahaha”
balasmu secara singkat.
“Yang kemarin di Jalan Malioboro
minta nomer sapa? Masak lupa?” tanyaku untuk menjawab pertanyaan itu
“Ooh, leon kevin?” ingatmu
“Bukan, namaku bukan leon kevin”
balasku untuk mengklarifikasi hal itu
“Leon waktu di sekolah. Kevin
waktu teater, kalo waktu di rumah apa dong? ckckckckck” tanggapmu
“Sms ku yang kemarin-kemarin
sampai nggak?” tanyaku lagi
“Kemarin malam baru liat terus
lupa nggak ku bales, hehehehe. Kamu asli Yogyakarta?” tanyamu agak
penasaran
“Iya, btw what’s app lagi mu
error ya?” tanyaku agak berbasa-basi
“Iyaa, kamu SMP dimana?” tulismu,
menanyakan latar belakang dari masa laluku
“SMPN 6 Yogya, kamu?”
***
Sore itu terasa sangat cepat berlalu,
aku ingin agar hati-hari selanjutnya selalu sama. Yah, tapi ini realita yang
harus terjadi tidak akan terulang tidak akan kembali hanya dapat terkenang
menjadi selembar tipis coretan tinta yang ditorehkan dengan indah darimu
untukku.
Hari demi hari berganti hingga tak
terasa sudah beranjak dan mulai kujalani hari dengan ceria berkat dirimu. 28
September 2013 adalah hari yang ku rasa jarak antara diriku dan dirimu semakin
dekat, aku mulai memperkenalkan keluarga ku, begitu juga dirimu. Dan kau dan
aku bercanda ria bercerita kesana kemari pada tanggal 29 September yang terasa
baru kemarin hal itu terjadi, adakah kau merasakan hal yang sama seperti yang
ku rasakan?
Orang
yang sedang dimabukkan oleh perasaan cinta jarang menggunakan otaknya untuk
berpikir secara logis. Ku kira aku dapat mempercayai semua yang engkau bisikkan
kepadaku ku kira semua yang kau katakan benar adannya namun apa mau dikata?
Manusia tidaklah sempurna! Dan kau mulai berbohong kepadaku dan yang membuat
hati ini lebih tercabik, kebohongan mu ku ketahui dari orang lain! Bukan dari
bibir manismu yang selalu tersenyum di akhir percakapan kita.
Perasaan suka padamu yang ada
dalam diri ini semakin hari semakin menggebu-gebu dan tahukah kamu pada saat
teman-temanku mulai menghinaku karena candaanku tentang dirimu, aku coba
bertahan dalam kondisi bimbang. “Hai, luput” begitu cara mereka memanggil ketua
kelas mereka. Aku tidak peduli karena yang ku dengar berbeda dengan apa yang
orang-orang ucapkan, mereka mengatakan seperti itu namun ku rasa mereka
mengatakan “Gimana keadaan orang yang kamu sukai eon? Udah di bales belum sms
nya yang kemarin-kemarin?” (Pada mulanya)
Perasaan ku mengatakan padaku bahwa
aku perlu melakukan inovasi supaya memudahkan ku untuk menyampaikan perasaan
yang ku miliki untuk dirimu.
“Halo, din” kataku sambil memukul
transmitter antena televisi yang menampilkan gambar yang kurang fokus.
“Tumben telepon ada apa’e?”
tanyamu
“Nggak papa cuma iseng aja,
gimana anak asrama malmingnya?” tanyaku mendengar riuh orang-orang di ujung
telepon sana
“Ya, nonton tipi kalo kamu?”
balasmu
“Sama sih, jomblo soalnya”
jawabku sedikit bercanda
“Eh, udah ya pengen ngelanjutin
nonton dulu ya” jawabmu
“Ya udah mesti nonton OVJ kan?”
balasku dengan naifnya
“Kok tahu’e?” katamu agak bingung
“Lha, di sini juga sama ya udah
lanjutin aja nontonnya” jawabku
Ada yang bilang orang menahan rasa
suka itu seperti menahan kentut, bahkan yang agak membuat diri ini sempat
berefleksi adalah ketika kamu manahan rasa itu berarti kamu tidak bersikap
layaknya ksatria, padahal ngakunya di sekolah di ajarkan bagaimana menjadi
laki-laki. “Ash, ini udah harus di ungkapin nggak mungkin nunggu lama lagi”
pikirku mulai menggila setelah menyadari bahwa aku sudah mencoba menjalin
hubungan itu selama satu setengah bulan dan aku pikir itu waktu yang cukup
lama. “Tapi bukankah perlu strategi dan rencana yang matang?” tanya diriku yang
satunya.
Dan pada akhirnya aku mengatakan
perasaan suka di senja pada hari Minggu, namun saat ku lihat raut wajahmu yang
selalu tak dapat ku tebak aku mulai ragu kau akan menerimaku. “Maaf, vin tapi
mending kita fokus dulu sama apa yang kita jalani sekarang” katamu. “Anjing,
kenapa semua ini harus terjadi setelah apa yang kita lewati bersama?” tanyaku
dalam hati. “Jawaban atas perasaanku aku tunggu sampai semua dinamika ini
selesai ya?” pintaku. “Ya” jawabmu memberikan secercah harapan bagiku.
Datanglah hari dimana semua ini mulai
berakhir, semua itu berawal ketika aku membuka sms darimu dan engkau menuliskan
“Vin, jujur-jujuran wae yo mending kamu jangan ada rasa sama aku.” Semua ini
berakhir, ya trauma ku kembali terulang? Tidak ! masa laluku hanya sebatas masa
lalu sedangkan ini adalah realita yang harus ku jalani kini. Dan ketika
teman-temanku menyerukan kata “luput” padaku aku hanya bisa menjerit, menangis,
meratapi kegagalan ini. Mungkin ini bukan salahmu mungkin ini adalah salahku
yang terlalu memberi pengharapan tinggi padamu dan ketika aku melihatmu
bercanda dan tertawa dengan seseorang yang ku kenal sebagai penjual dagangan
itu aku hanya bisa berpikir “Asu vin, kwe kalah karo wong koyo ngono”
Yah, tapi biarkanlah masa lalu berlalu
cinta datang cinta pergi tak pernah berhenti di suatu titik pasti mobilitas
selalu terjadi entah dengan konflik pikiran maupun batin entah dengan tetesan
keringat dingin maupun air mata dan perasaan ini masih ada untukmu selalu
menantimu di saat engkau siap melihat apa yang ada dalam diriku namun masih ada
sebersit pertanyaan besar yang mengganjal pada diriku yaitu: “Apa alasanmu
menghentikan semua ini?” Cinta, air mata, dan duka selalu berkeliling di
sekitarku kegagalan sudah biasa kemenangan hanya Tuhanlah yang tahu siapa yang
akhirnya akan menjadi jodohku, cinta hanya bisa diusahakan tidak bisa
dipaksakan!.