Yah,
memang untung tak bisa diraih dan malang tak bisa ku tolak untuk kesekian
kalinya di pagi itu. Bermandikan peluh ditambah air liur guguk (yang bisa
dibilang agak ga bingitz keles bagi orang-orang alay) aku mencoba untuk berdiri
dibantu uluran tangan dari Elisa. Hal pertama yang terlintas di pikiranku
adalah kesan garang yang dimiliki oleh ayah dari Elisa macam kepala polisi
bagian khusus interogasi penjahat psikopat dan mungkin saja percakapan kita
akan menjadi seperti ini:
“Oh,
jadi kamu yang namanya Noel?” tanyanya sambil mengarahkan lampu meja yang
diubah menjadi lampu sorot ke wajahku