Senja kembali turun, bersama semua
kegundahan hati yang perlahan meradang. “Masih adakah cintamu di hari esok
untukku?” lamunku dalam hati. “Dapatkah aku membalik lembaran usang yang
dinamakan catatan perjalanan cinta itu?” sambungku. “Mungkinkah aku dapat
menghapus kabut yang bernama kegundahan dan kegalauan itu?” lanjutku. Memang
banyak keraguan dalam hati kecilku, aku memiliki ketakutan dan ada secuil
trauma yang masih tertinggal dalam lubuk hatiku sehingga aku memiliki asumsi
bahwa kisah ini akan membekaskan kenangan pahit lagi.
Semua trauma itu bermula dari masa
SMP ku, masih segar dalam ingatanku pada saat pendaftaran ulang aku melihat
seorang perempuan yang elok parasnya seperti diukir oleh mahadewa pemahat yang
mahakuasa. Aku hanya terdiam dan memandang kearahmu tak bisa mengucapkan
sepatah kata pun serasa kerlingan matamu itu mengisyaratkan padaku untuk
memandangmu tanpa berkedip sedikitpun. Rambutmu yang hitam panjang tergulung
dengan indahnya oleh sebuah jepit rambut yang menambah nilai estetika yang
sudah dianugrahkan dewata pada dirimu. Momen ini mungkin tak pernah engkau
sadari karena dirimu sibuk sendiri melihat papan pengumuman yang berwarna hijau
itu dan tak sedetik pun menoleh ke tempatku berpijak dan memandang diriku.
Dan masih teringat hari-hari dimana setelah
aku menaruh tas punggung beserta beraneka macam barang yang dibutuhkan sebagai
media untuk guru agar dapat menyampaikan ilmu yang akan mereka berikan kepada
muridnya di kelas 7F dimana kelas 7F adalah kelas paling pojok, terpencil, dan
kebanyakan berisi para murid yang sengaja di buang karena keyakinan agama nya
merupakan minoritas dan para petinggi kaum mayoritas setuju untuk menempatkan
kami disini. Tiba-tiba saja kamu datang dengan membawa tas biru (yang selalu ku
kenang dalam perjalanan hidupku hingga kini) dan kamu langsung menaiki tangga.
“Yes” pikirku pasti kamu kelas 7F dan itu berarti aku dan kamu seagama jadi
kita dapat mudah menjalin relasi (“persetan dengan agama sekalipun agama aku
dan kamu sama ternyata tidak akan menjamin kepastian hubungan dalam sebuah
relasi” pikirku kini setelah jauh melangkah). Dan ternyata apa yang ku duga
meleset namun tidak jauh ternyata kamu masuk kelas 7E. “Asyik, berarti
kemungkinan dia juga hampir sama denganku” pikirku yang pada saat itu masih
memiliki pola pemikiran yang kekanak-kanakan.
Pagi itu adalah awal baru dalam
hidupku setelah aku menyelesaikan pendidikan pada strata sekolah dasar, aku
melanjutkan ke salah satu SMP yang terkenal karena keunggulannya baik dalam
bidang kurikulum pendidikan maupun ekstrakurikuler khususnya basket dan SMP ini
terletak di jalan RW Monginsidi 1 Yogyakarta. Tak dapat dipungkiri bahwa saat
aku melihatmu naik, hati ini seakan-akan melonjak kegirangan. Aku seperti
melihat sang rembulan, di kala malam mulai datang dan membawa hawa dingin dan
kesepian namun semua itu terkalahkan oleh sang rembulan yang selalu mencoba
menghangatkan malam-malamku. Tanpa sadar seminggu telah berlalu dan kejadian
itupun masih sering terjadi di pagi hari dan tanpa bosan aku selalu mengikuti
rutinitas yang sama walaupun harus menunggu dirimu sampai bel berbunyi dengan
nyaringnya aku akan tetap menunggu hingga kamu masuk ke kelasmu namun jika aku
melihat guru yang ingin memberikan ilmu sudah hampir masuk ke dalam kelasku
maka aku akan segera masuk.
“Dab, aku nyileh
bolpenmu oleh ra?(Bro, aku pinjam bolpoinmu boleh tidak?) ” kataku untuk
menjalankan niatan awal memulai hubungan dengan pujaan hatiku.
“Nggo ngopo?
(Untuk apa?)” tanya temanku
“Yo, tak silih sek
mengko nek wes rampung yo tak balekke oleh ra? (Ya ku pinjam dulu nanti setelah
selesai ku pakai pasti aku kembalikan boleh ku pinjam tidak?)” sambungku karena
situasi saat itu adalah jam istirahat sebelum tambahan pelajaran siang di
mulai.
“Ki, mok nggo
sek mengko yen iso kok nggo wae tur yen wes rampung kok balekke lho (Ini, kamu
pakai dulu kalau nanti bisa kamu pakai dahulu tapi kalau sudah selesai dipakai
kembalikan padaku)” kata temanku seraya meminjamkan bolpoinnya kepadaku.
“Waduh
bolpoinnya macet padahal bentar lagi surat ini jadi” pikirku.
Aku bingung tapi surat itu tetap
kulanjutkan dan isinya bahwa aku ingin mengenal lebih dekat tentang dirimu.
Sebetulnya tujuan dari surat ini sederhana namun mungkin kamu salah tangkap
atau menganggap bahwa surat ini adalah surat cinta dari orang aneh. Lalu surat
itu kutitipkan pada temanku yang kebetulan satu kelas tambahan denganmu
Pada waktu tambahan pelajaran kedua
di mulai datanglah guru matematika yang sampai saat ini tak akan kulupakan
karena gaya pengajarannya yang cepat namun dapat dengan mudah ku cerna. “Ndut,
kamu tha yang membuat surat cinta untuk siswi dari kelas 7E itu?” suaranya
membuyarkan konsentrasiku. “ Mampus nih, masak belum ada apa-apa guru udah tahu
duluan?” pikirku. Namun saat aku menoleh untuk menjawab ternyata guru itu
bertanya pada murid yang salah dan murid itu masih teman satu kelasku.
“Selamat, ternyata reputasiku masih aman” karena hal itu aku tiba-tiba tertawa
kecil seperti orang gila.
“Ada apa nak?” tanya guru itu secara
tiba-tiba kepada diriku. “Ndak ada apa-apa pak” jawabku setengah ketakutan.
“Sudah selesai yang mengerjakan?” tanyanya lagi seperti hendak menginterogasi
diriku. “Sudah pak” jawabku santai. Dan pada saat guru itu mendekati mejaku untuk
mengecek hasil pekerjaan ku dia bertanya lagi “Kok bisa-bisanya kamu di
masukkan ke kelas tambahan 7C bukan di 7A?” tanyanya lagi sambil memegang buku
catatanku. Aku diam saja karena tidak tahu apakah guru ini memujiku atau malah
mencibirku. Seusai tambahan pelajaran aku hendak langsung pulang namun
tiba-tiba saja langkahku saat menuruni tangga di hentikan oleh seorang
perempuan dan dia berkata “Namamu Kevin ya?” tanyanya. “Waduh ada apalagi ini?”
pikirku. “Iya, ada apa ya?” jawabku. “Kamu yang membuat surat cinta itu kan?”
tanyanya lagi. “Mampus, kayaknya di sekolah ini ada CCTV rahasia nih” pikirku
lagi. “Kamu tahu nasib suratmu itu nggak?” tanyanya lagi dengan nada yang ku
anggap mengejekku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menunggu reaksi
darinya. “Coba cek tempat sampah di kelas 7B deh” suruhnya. Seperti celeng yang
hidungnya diolesi balsam aku berlari lagi menaiki tangga dan menemukan sebuah
sampah, ya satu-satunya sampah yang ada di sana ku pikir sampah itu masih baru
sampai aku membuka kertas kumal itu. “Sialan, ini kan surat yang ku tulis kok
bisa sampai di sini ya?” gumamku dalam batin. Aku turun tangga lagi dan saat
aku melewati sekumpulan perempuan maupun laki-laki yang ku pikir masih satu
angkatan denganku mereka berbisik-bisik yang suaranya dapat terdengar oleh
telinga ku yang agak sensitif. “Eh, coba lihat itu loh ada anak kelas 7F yang
ditolak” sambil tertawa mereka mengejekku.
Kala itu cuaca mendung dan tetes demi
tetes air mulai turun dari langit. Aku berpacu dengan waktu karena waktu itu
agak gelap jadi pesan ibuku yang mengatakan “Kalau pulang naik angkot jurusan
23” tapi karena keadaan saat itu membuatku kalap aku langsung naik angkot tanpa
melihat jalur yang tertera pada bagian depan angkot itu. Sesampai di dalam
angkot aku bertanya pada salah satu teman kelas 7F “ Ini jalur berapa ya?”.
“D2” jawabnya. “Mampus udah ditolak, kehujanan, salah naik angkot lagi”
pikirku. “Yah, semoga saja nanti saat di perempatan Monumen Jogja Kembali cuaca
sudah terang” sambungku. Dan benar saja pada saat turun dari angkot cuaca sudah
mulai terang. Lalu aku menunggu angkot dengan berjalan kaki ke arah utara dan
akhirnya ada satu yang lewat dan langsung ku kejar. “Semoga saja besok saat
masuk ke sekolah kejadian hari ini tidak menjadi gosip di seantero sekolahan”
doaku seraya mencium aroma tanah basah dari arah luar angkot.