Friday, September 27, 2013

My Little Story Part 1

          Senja kembali turun, bersama semua kegundahan hati yang perlahan meradang. “Masih adakah cintamu di hari esok untukku?” lamunku dalam hati. “Dapatkah aku membalik lembaran usang yang dinamakan catatan perjalanan cinta itu?” sambungku. “Mungkinkah aku dapat menghapus kabut yang bernama kegundahan dan kegalauan itu?” lanjutku. Memang banyak keraguan dalam hati kecilku, aku memiliki ketakutan dan ada secuil trauma yang masih tertinggal dalam lubuk hatiku sehingga aku memiliki asumsi bahwa kisah ini akan membekaskan kenangan pahit lagi.

          Semua trauma itu bermula dari masa SMP ku, masih segar dalam ingatanku pada saat pendaftaran ulang aku melihat seorang perempuan yang elok parasnya seperti diukir oleh mahadewa pemahat yang mahakuasa. Aku hanya terdiam dan memandang kearahmu tak bisa mengucapkan sepatah kata pun serasa kerlingan matamu itu mengisyaratkan padaku untuk memandangmu tanpa berkedip sedikitpun. Rambutmu yang hitam panjang tergulung dengan indahnya oleh sebuah jepit rambut yang menambah nilai estetika yang sudah dianugrahkan dewata pada dirimu. Momen ini mungkin tak pernah engkau sadari karena dirimu sibuk sendiri melihat papan pengumuman yang berwarna hijau itu dan tak sedetik pun menoleh ke tempatku berpijak dan memandang diriku.

          Dan masih teringat hari-hari dimana setelah aku menaruh tas punggung beserta beraneka macam barang yang dibutuhkan sebagai media untuk guru agar dapat menyampaikan ilmu yang akan mereka berikan kepada muridnya di kelas 7F dimana kelas 7F adalah kelas paling pojok, terpencil, dan kebanyakan berisi para murid yang sengaja di buang karena keyakinan agama nya merupakan minoritas dan para petinggi kaum mayoritas setuju untuk menempatkan kami disini. Tiba-tiba saja kamu datang dengan membawa tas biru (yang selalu ku kenang dalam perjalanan hidupku hingga kini) dan kamu langsung menaiki tangga. “Yes” pikirku pasti kamu kelas 7F dan itu berarti aku dan kamu seagama jadi kita dapat mudah menjalin relasi (“persetan dengan agama sekalipun agama aku dan kamu sama ternyata tidak akan menjamin kepastian hubungan dalam sebuah relasi” pikirku kini setelah jauh melangkah). Dan ternyata apa yang ku duga meleset namun tidak jauh ternyata kamu masuk kelas 7E. “Asyik, berarti kemungkinan dia juga hampir sama denganku” pikirku yang pada saat itu masih memiliki pola pemikiran yang kekanak-kanakan.

           Pagi itu adalah awal baru dalam hidupku setelah aku menyelesaikan pendidikan pada strata sekolah dasar, aku melanjutkan ke salah satu SMP yang terkenal karena keunggulannya baik dalam bidang kurikulum pendidikan maupun ekstrakurikuler khususnya basket dan SMP ini terletak di jalan RW Monginsidi 1 Yogyakarta. Tak dapat dipungkiri bahwa saat aku melihatmu naik, hati ini seakan-akan melonjak kegirangan. Aku seperti melihat sang rembulan, di kala malam mulai datang dan membawa hawa dingin dan kesepian namun semua itu terkalahkan oleh sang rembulan yang selalu mencoba menghangatkan malam-malamku. Tanpa sadar seminggu telah berlalu dan kejadian itupun masih sering terjadi di pagi hari dan tanpa bosan aku selalu mengikuti rutinitas yang sama walaupun harus menunggu dirimu sampai bel berbunyi dengan nyaringnya aku akan tetap menunggu hingga kamu masuk ke kelasmu namun jika aku melihat guru yang ingin memberikan ilmu sudah hampir masuk ke dalam kelasku maka aku akan segera masuk.

“Dab, aku nyileh bolpenmu oleh ra?(Bro, aku pinjam bolpoinmu boleh tidak?) ” kataku untuk menjalankan niatan awal memulai hubungan dengan pujaan hatiku.

“Nggo ngopo? (Untuk apa?)” tanya temanku

“Yo, tak silih sek mengko nek wes rampung yo tak balekke oleh ra? (Ya ku pinjam dulu nanti setelah selesai ku pakai pasti aku kembalikan boleh ku pinjam tidak?)” sambungku karena situasi saat itu adalah jam istirahat sebelum tambahan pelajaran siang di mulai.

“Ki, mok nggo sek mengko yen iso kok nggo wae tur yen wes rampung kok balekke lho (Ini, kamu pakai dulu kalau nanti bisa kamu pakai dahulu tapi kalau sudah selesai dipakai kembalikan padaku)” kata temanku seraya meminjamkan bolpoinnya kepadaku.

“Waduh bolpoinnya macet padahal bentar lagi surat ini jadi” pikirku.

          Aku bingung tapi surat itu tetap kulanjutkan dan isinya bahwa aku ingin mengenal lebih dekat tentang dirimu. Sebetulnya tujuan dari surat ini sederhana namun mungkin kamu salah tangkap atau menganggap bahwa surat ini adalah surat cinta dari orang aneh. Lalu surat itu kutitipkan pada temanku yang kebetulan satu kelas tambahan denganmu

          Pada waktu tambahan pelajaran kedua di mulai datanglah guru matematika yang sampai saat ini tak akan kulupakan karena gaya pengajarannya yang cepat namun dapat dengan mudah ku cerna. “Ndut, kamu tha yang membuat surat cinta untuk siswi dari kelas 7E itu?” suaranya membuyarkan konsentrasiku. “ Mampus nih, masak belum ada apa-apa guru udah tahu duluan?” pikirku. Namun saat aku menoleh untuk menjawab ternyata guru itu bertanya pada murid yang salah dan murid itu masih teman satu kelasku. “Selamat, ternyata reputasiku masih aman” karena hal itu aku tiba-tiba tertawa kecil seperti orang gila.

          “Ada apa nak?” tanya guru itu secara tiba-tiba kepada diriku. “Ndak ada apa-apa pak” jawabku setengah ketakutan. “Sudah selesai yang mengerjakan?” tanyanya lagi seperti hendak menginterogasi diriku. “Sudah pak” jawabku santai. Dan pada saat guru itu mendekati mejaku untuk mengecek hasil pekerjaan ku dia bertanya lagi “Kok bisa-bisanya kamu di masukkan ke kelas tambahan 7C bukan di 7A?” tanyanya lagi sambil memegang buku catatanku. Aku diam saja karena tidak tahu apakah guru ini memujiku atau malah mencibirku. Seusai tambahan pelajaran aku hendak langsung pulang namun tiba-tiba saja langkahku saat menuruni tangga di hentikan oleh seorang perempuan dan dia berkata “Namamu Kevin ya?” tanyanya. “Waduh ada apalagi ini?” pikirku. “Iya, ada apa ya?” jawabku. “Kamu yang membuat surat cinta itu kan?” tanyanya lagi. “Mampus, kayaknya di sekolah ini ada CCTV rahasia nih” pikirku lagi. “Kamu tahu nasib suratmu itu nggak?” tanyanya lagi dengan nada yang ku anggap mengejekku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menunggu reaksi darinya. “Coba cek tempat sampah di kelas 7B deh” suruhnya. Seperti celeng yang hidungnya diolesi balsam aku berlari lagi menaiki tangga dan menemukan sebuah sampah, ya satu-satunya sampah yang ada di sana ku pikir sampah itu masih baru sampai aku membuka kertas kumal itu. “Sialan, ini kan surat yang ku tulis kok bisa sampai di sini ya?” gumamku dalam batin. Aku turun tangga lagi dan saat aku melewati sekumpulan perempuan maupun laki-laki yang ku pikir masih satu angkatan denganku mereka berbisik-bisik yang suaranya dapat terdengar oleh telinga ku yang agak sensitif. “Eh, coba lihat itu loh ada anak kelas 7F yang ditolak” sambil tertawa mereka mengejekku.

          Kala itu cuaca mendung dan tetes demi tetes air mulai turun dari langit. Aku berpacu dengan waktu karena waktu itu agak gelap jadi pesan ibuku yang mengatakan “Kalau pulang naik angkot jurusan 23” tapi karena keadaan saat itu membuatku kalap aku langsung naik angkot tanpa melihat jalur yang tertera pada bagian depan angkot itu. Sesampai di dalam angkot aku bertanya pada salah satu teman kelas 7F “ Ini jalur berapa ya?”. “D2” jawabnya. “Mampus udah ditolak, kehujanan, salah naik angkot lagi” pikirku. “Yah, semoga saja nanti saat di perempatan Monumen Jogja Kembali cuaca sudah terang” sambungku. Dan benar saja pada saat turun dari angkot cuaca sudah mulai terang. Lalu aku menunggu angkot dengan berjalan kaki ke arah utara dan akhirnya ada satu yang lewat dan langsung ku kejar. “Semoga saja besok saat masuk ke sekolah kejadian hari ini tidak menjadi gosip di seantero sekolahan” doaku seraya mencium aroma tanah basah dari arah luar angkot. 

Thursday, September 26, 2013

Cerita Retorika

           Asumsi adalah salah satu tingkatan terbawah dalam berpikir namun asumsi terkadang di rasa kurang pas untuk menyatakan argumen. Tapi mengapa akhir-akhir ini asumsi-asumsi tiba-tiba muncul dari dalam benakku. Apakah karena aku takut kehilanganmu sebelum engkau menjadi milikku? Ataukah karena aku takut untuk menderita lagi? Semua ini bermula di jalan Malioboro yang menjadi saksi bisu bertemunya dua insan.

          “Eh..... uh bisa minta nomor teleponmu ndak?” Tanya ku tergagap-gagap sambil mengumpulkan nafas sehabis mengejarmu yang secara tiba-tiba meninggalkan konser kecil di pingir jalan itu. Dan secara tidak sadar aku melihat momen itu. “Ya” Katamu secara singkat namun kurasa cukup memberi efek yang besar pada diriku. Lalu aku dan kamu berbincang-bincang sedikit tentang sekolah, asal, dan sebagainya. Dan kita sampai di Benteng Vredeburg dimana aku memarkirkan sepeda motorku sedangkan kamu hanya mengendarai sepeda onthel.  “Sekalian saja aku membayarkan parkir sepedamu saja ya?” pikirku. Lalu setelah aku melewati parkiran sepeda dan membayar parkir, kamu tersenyum dan mengucapkan kata terima kasih. Namun tiba-tiba di jalan aku mendapat firasat yang kurang enak dan benarlah ternyata yang menjadi sumber kegelisahanku berasal dari sepeda motorku yang mulai tidak seimbang dan mulai bergoyang. “Waduh, moga-moga nggak hujan nih” Pikirku setengah berharap. Namun sepertinya harapanku tidak sejalan dengan realitanya karena perlahan-lahan butiran air jatuh ke bumi. “Wah, udah malam, ban bocor, tambah hujan lagi” Batinku namun itu semua kurasakan tidak ada artinya dibandingkan mendapatkan sebuah deret angka yang sengaja disusun urut dan nomor itu telah aku miliki. Hari-hari menjadi lebih indah daripada yang sebelumnya dan perlahan-lahan aku mencoba menutup lembaran lama nan usang yang menyimpan duka dan derita, dan ku coba membuka lembaran baru yang masih putih dan belum tercoret oleh tinta apapun. Dua hari kemudian tepatnya pada hari Sabtu aku mencoba berkenalan lebih dekat denganmu.
“Halo, lagi ngapa kamu disana” ketikku untuk mengirim pesan dan mencoba memulai pembicaraan ini.
“Ini nomernya siapa?” balasmu dengan tambahan yang membuatku tersenyum karena berimajinasi bahwa kamu disana juga merasakan hal yang sama denganku.

“Yang kemarin tu loh masa lupa?” Candaku

            Lalu aku dan kamu saling bertukar cerita dan candaan. Ah, malam itu kurasakan aku ingin terjaga semalaman. Bulan bersinar dengan terangnya dan menemaniku bercanda malam itu setelah kamu mengetikkan kata “ Ok see you, Gbu” yang langsung ku baca.  Aku sudah tidak sabar untuk menemuimu di hari Senin sore.

          Hari yang kunantikan akhirnya tiba, walau dalam hatiku ini ada perasaan yang menggebu-gebu untuk banyak bicara padamu namun aku dituntut untuk profesional dan bisa menempatkan diri. Dan setelah matahari tenggelam dan ekstrakurikuler selesai aku mencoba memulai percakapan denganmu.

          Tapi akhir-akhir ini kurasakan dirimu seakan-akan mencoba menghindari diriku. Dan yang paling “pahit” menurutku adalah saat aku melihat dirimu bercanda dan berbicara dengan adik kelas dan kamu tak pernah seperti itu saat berbicara bersamaku. Aku ingin marah sekaligus takut akan mengulangi kejadian dulu sebelum aku bertemu denganmu karena sudah berpuluh-puluh kali ku rasakan rasa “pahit” ini.

          Pemberi Harapan Palsu hanya mitos itu kata teman-temanku, “Cobalah bertahan” mudah untuk bicara tapi sulit untuk dijalani. “Apakah aku akan kembali menjadi diriku yang dahulu sebelum bertemu denganmu?” tanyaku seraya mulai meninggalkan kantin itu.


          Senja turun lagi, ya senja selalu turun tidak pernah dapat dipungkiri bahwa senja selalu menepati janjinya tidak seperti mentari yang terkadang terpaksa harus mengingkari janjinya karena sibuk bercinta dengan awan. 

Wednesday, September 25, 2013

Dilema

            Mengapa, kata itulah yang pertama kali terbersit di benakku. Semua tak seindah katamu dunia yang dulu ku kenal berbeda dengan yang sekarang, dunia kini serasa mengharu biru bagiku. Inginku berkehendak lain namun takdir mengatakan yang sebaliknya hingga perpisahan pun yang menjadi solusinya. Solusi terbodoh yang pernah aku temui. Rintik hujan yang berjatuhan menemani bau tanah yang basah dan temani kita di bandara itu.

“Kamu harus mencoba berpaling dan melupakanku” katamu

“Tapi, seharusnya bukan ini yang terjadi. Orang tuamu ingin aku menjadi seperti ini kan?” hanya itu yang bisa aku keluarkan dari mulutku yang hina.

“Ya, semua ini keinginan orang tuamu kan? Memiliki seorang laki-laki mapan untuk mendampingimu dan bukannya seorang pelajar?” Suara hatiku berteriak, berteriak dalam benakku.

“Tapi, aku suka dirimu yang dahulu! ” Balasmu bersamaan dengan datangnya hujan dari air matamu yang tak pernah kubayangkan untuk menjadi kenyataan.

“Apa yang berubah dariku? Apa !” Kataku mulai meracau.

“Semua ini supaya orang tuamu dapat menerimaku semua ini demi kita !” Sambungku.

“Kita ! apanya yang kita yang kau pikirkan hanya tentang dirimu! Tak pernah ada kata kita dalam cerita ini !” Balasmu yang membuat jantungku serasa berhenti berdetak

“Aku?” Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutku

“Ya ini semua salah mu ini semua karena mu! Yang kau pikirkan hanyalah cara untuk merubah pandangan orang tuaku padamu sadarkah ada yang berubah dari sifatmu?” Katamu bersamaan dengan keluarnya air mata yang semakin deras.

“Aku rindu dirimu yang dulu, yang penuh kasih sayang padaku, yang selalu memiliki waktu untukku tapi kini semua telah berubah ! pernahkah kamu memikirkan diriku selama ini?” Sambungmu

“Maukah kamu memberiku kesempatan satu kali lagi agar dapat menunjukkan bahwa aku dapat menebus semua kesalahanku padamu?” Pintaku dari hati yang terdalam

“Tidak kurasa inilah akhir dari cerita kita” Tolakmu seraya berlari, ya berlari hingga batas cakrawala, berlari hingga tak dapat ku jangkau lagi.
         
          Apa kesalahanku? Hanya itu yang selalu terngiang dalam batinku, mungkin inilah perasaan yang dirasakan oleh penulis lagu Leaving On The Jetplane. Semua hasil kerja kerasku terasa sia-sia belaka musnah sirna sudah apa yang menjadi keinginan dan impianku selama ini. Dengan langkah gontai ku masuki bilik pesawat sesuai yang tertera dalam tiketku. Telah ku coba berbagai cara untuk melupakanmu namun hasilnya selalu nihil, Nol besar ! Ya, itulah diriku kini seorang pria yang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta. Cinta? Apa itu cinta, apakah cinta adalah perasaan yang didapatkan setelah aku memiliki uang? Aku tak tahu kemana harus berjalan. Tak terasa aku menangis dalam tidurku dan tiba-tiba terdengar suara peringatan dari pengeras suara di dalam pesawat.

“Sudah jangan berisik ! Biarkan aku sendiri bila pesawat ini memang di takdirkan untuk jatuh biarkan saja aku sudah tak peduli pada semuanya !” Pikirku dalam kekalutan hatiku.

Pesawat jatuh ya jatuh menuju dalamnya air yang dingin sedingin hatiku kini.

            Tiba-tiba jam wekerku berbunyi, “Sialan mimpi apa aku tadi?” gumamku dalam keadaan yang setengah terjaga. Aku hanya berharap hari ini berjalan seperti biasa tidak ada suatu kejutan. Dari pagi hingga siang semuanya biasa saja aku masih berharap semoga sore sewaktu ekstrakurikuler tidak ada yang berbeda. Namun, semua yang kupikirkan di pagi hari berubah ketika ku lihat dirimu tersenyum padaku disaat senja datang.

“Kenapa’e kok senyum-senyum, ada yang aneh ya?” Kataku

“Ah, enggak cuma aku suka sama kamu saat kamu berlatih sungguh-sungguh” Balasmu dengan senyummu yang seindah mentari yang mencoba menghalau gelap disaat fajar.

“Bener nih nggak ada yang aneh?” Tanyaku lagi

“Iya” Katamu

“Aku juga suka” Kataku memancing tanggapan darimu

“Pasti suka senyumku ya? Udah basi tahu” Katamu sambil tersenyum kecil

“Nggak aku suka saat dirimu saat manyun hehehehehe” Candaku

“Ih kok gitu sih” Balasmu sambil menampilkan ekspresi manyunmu yang membuatku terpesona

“Tuh kan kalo manyun lebih lucu” Tambahku

“Kamu tu bisa aja”  Katamu.

“Mau bareng nggak pulangnya udah malem loh ntar di cariin susternya?” Godaku

“Eh, kayaknya nggak usah deh kan aku barengan sama temanku tadi ke sininya” Balasmu yang membuatku merasa seperti orang bodoh karena di mabuk cinta.

“Ya udah besok berangkat latihan lagi ya?” Tanyaku

“Iya” Jawabmu dan mengakhiri pembicaraan kita


Ah, aku ingin hari-hari yang indah seperti ini selalu terjadi dan tak pernah berhenti sambari memanaskan mesin motorku dan bersiap meninggalkan sekolah untuk menuju rumahku.

Batas antara Khayal dan Realita

Tak pernah sekejap pun aku memikirkan kata berpisah, tak pernah terbersit dibenakku untuk mencoba pergi menjauh dari dirimu. Kesetiaan, kata yang mudah terucap namun sulit untuk direalisasikan. Kesetiaan hanya itu yang aku butuhkan darimu tidak lebih dari itu. Namun kenapa kini semua itu hanya seperti bunga mimpi bagiku? Kenapa kini engkau menjauh? Macau- Indonesia batas nyata antara cinta dan derita. Masihkah engkau mencintaiku di sana sementara di sini aku masih mencoba bertahan di kerapuhan jiwaku. 

" Janji ya kamu nggak akan nakal disana?" kataku saat menjelang perpisahan kita.

"Iya aku janji" katamu saat mengucapkan kata berpisah untukku.

Namun, kini ku rasa janji tinggalah janji tak bisa menjadi suatu bukti valid yang menjanjikan bagiku.

Seminggu sudah berlalu dari perpisahan kita, aku dan kamu masih bisa berkomunikasi, merajut cinta di benua yang berbeda. "Aku yakin semua ini bisa berjalan lancar dan aku pasti masih bisa menantimu walau 1000 tahun lagi" kataku di telepon. "Ih, kamu gombal deh" katamu dengan nada yang kurasa manja. "Tapi, kamu senang kan kalo dapat gombalan dari aku?" kataku membalas ucapan yang aku tahu itu keluar dari hatimu. "iya hehehehe" balasmu.
Semua kurasa sama tak ada yang berubah hari-hari yang dulu sebelumnya pernah kelabu sebelum menjalin hubungan denganmu kini kurasa seakan bulan pun ingin menari bersamaku. 

Semua terjadi seperti mimpi indah yang tak ingin untuk diakhiri dan bangun untuk menyambut realita pahit ketika aku dan kau sudah tidak sejalan. Namun apa yang selalu menjadi asumsiku dalam hubungan ini akhirnya terjadi, aku dan kamu miss komunikasi selama sebulan dan akhirnya kau berkata padaku "Maaf sepertinya hubungan kita harus berakhir sampai disini" katamu. Kata yang paling tidak ku inginkan untuk keluar dari bibir manismu. "Mengapa? Apa ada orang lain?" Lanjutku. " Tidak, hanya saja kurasa kita memang harus mengakhirinya" sambungmu sambil terdengar nada dari suaramu yang seakan menahan diri untuk tidak menangis. " Kumohon janganlah menangis cukup aku saja yang harus menanggung semua siksa batin ini" ingin aku berteriak padamu namun hanya ada suara telepon yang tertutup di ujung sana.

Hahahaha inginku menangis bila aku mengingat hari-hariku bersamamu. Hari dimana aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya hari dimana aku sempat merasakan secuil indahnya Surga hari dimana tawa, canda, dan bahagia bersamamu selalu mengisi kesepian hatiku. Hari-hari kurasakan seindah cerita cinta di dalam novel remaja yang selalu berakhir bahagia.

Namun, kini cerita cinta yang berakhir bahagia hanya ada di novel dan cerita-cerita yang di buku. Kini ku rasa dunia seakan-akan perlahan meredup, dunia kehilangan cahayanya seperti aku yang kehilangan kamu penuntun dan pendamping hatiku. Bulan yang selalu bersinar menemani diriku saat berbicara renganmu namun kini bulan pun tak ingin menunjukkan senyumnya padaku! Habis sudah semua tangisan ini untukmu, habis semua kata cinta yang dulu pernah terucap hancur dan luluh semua perasaan ini bagaikan pasir yang tersapu oleh kesombongan angin yang berhembus sesuka hatinya. Ingin aku berseru " Apakah kau memikirkan hancurnya perasaanku ? Runtuhnya dinding yang bernama cinta? Atau apakah kau pernah sedikit saja memikirkan bagaimana kondisi ku sekarang setelah kau tinggalkan pada saat aku masih ingin melanjutkan cinta ini walaupun terbentur oleh jarak yang tak pernah bisa kita sangkal yang perlahan mencoba untuk menghapuskan cinta antara dirimu dan diriku. Dan akhirnya kini hanya aku sendiri meratapi kisah indah yang pernah terjadi dalam hidupku yang berakhir tak seindah awalnya.

Monday, September 23, 2013

Masih Adakah Rembulan Untukku Malam ini?

            
          Seperti biasa, hari ini aku bangun lagi dalam kesendirianku. "Kehidupan di masa-masa SMA itu penuh dengan warna" itu kata mereka. "Penuh dengan warna apanya?" pikirku. Dan kembali menjalani aktivitas monoton seperti biasanya mempersiapkan diri lalu berangkat menggunakan motor menuju ke Sekolah (lagi). Di sekolah tidak ada yang baru bagiku "Apa yang indah dari melihat peristiwa melodrama yang selalu terulang kembali?". Tapi saat yang selalu kuinginkan tiba-tiba datang dalam hidupku yang selalu kelabu. Walaupun hanya sekilas aku melihatnya tapi sudah serasa hati ini ingin memilikinya. Mungkin ini cinta yang memaksa atau cinta yang saling meminta. Bagi sebagian orang cinta memiliki definisi yang berbeda beda tapi bagiku cinta itu adalah kamu.

        Hari telah berganti ku coba untuk memberanikan diri untuk mencoba mendekatimu dan meminta nomor teleponmu. PHP hanya itu yang kutakutkan dari awal kita bertemu aku takut kejadian itu terulang lagi kejadian dimana aku harus menangis atas kebodohanku. Semua ini hanya persepsi, hanya opini tak ada batas antara realita dan khayalan semu. 

"Dan apa yang akan aku perbuat setelah mendapatkan urutan angka abstrak yang tak berarti itu?" pikiran dalam gumamku

"Sudah, tidak usah dilanjutkan saja biarkan saja ini berhenti sebelum dimulai kau kan sudah tahu hasilnya." sambungnya

Aku kembali berpikir

"Tapi, lebih sakit jika kamu hanya memendam perasaanmu dan membiarkannya membusuk di dalam dirimu" 

         Semua pikiran tentang dirinya dan perasaan suka padanya berkecamuk dalam diriku bagaikan sebuah bom nuklir yang menunggu untuk diledakan. Yah, tapi pada akhirnya tetap ku beranikan diriku untuk mencoba menghubunginya dan berharap agar rembulan ada bersamanya saat aku menghubunginya dengan harapan agar aku dapat merasakan hal yang sama dengannya.

Sunday, September 22, 2013

Sepenggal Cinta di ujung Senja

Sepuluh hari telah berlalu setelah kepergianmu. Masih teringat hari dimana pertama kali kita bertemu di angkringan kecil di pinggir jalan kaliurang. Ditemani cahaya dari lampu pinggir jalan dan bintang-bintang yang bersinar di angkasa serasa itu semua sudah ditakdirkan untuk terjadi. 
Masih terkenang dalam ingatanku saat kita bersama serasa waktu dengan cepatnya berlalu. Kita bersama, kita tertawa, kita membicarakan tentang masa depan yang akan selalu abstrak bagiku. Tetapi semua berbeda sekarang, tiada tempat bagiku untuk berkeluh kesah. 

"Sudah, buang saja semua kata-kata cinta itu, masukkan ke dalam peti kemas lalu kirimkanlah ke neraka" pikirku

Teman-temanku berkata  "Kamu harus mencoba move on"

"Anjing, apa kalian bisa merasakan dan berada di posisi yang saat ini kurasakan?" pikirku.

Detik demi detik berlalu hari demi hari berganti namun tiada sedetik pun  pikiran ini terlepas darimu. Telah kucoba seribu cara untuk melupakanmu namun semua itu tak pernah berhasil.  Cinta? cinta yang mana lagi yang ku cari? Separuh hatiku ini telah ku berikan kepadamu namun apa mau dikata kini hanya serpihan sesal yang ada padaku, kau tinggalkan aku di saat aku masih terlalu membutuhkanmu disisiku sebagai pendamping bagiku untuk melangkah, kemanakah aku harus berjalan ketika tujuanku sudah tak ada lagi? Kemanakah aku harus melangkah ketika cahaya hatiku kembali redup?

Pertanyaan dan pertanyaan selalu datang kepadaku bertubi-tubi bak di berondong oleh senapan artileri. Sakit hati ini tak pernah kau rasakan remuk redamnya perasaanku sudah tak bisa ku lukiskan lagi. Bagimu langit selalu biru bagiku pun begitu namun semua telah berubah langit tak sebiru biasanya, bulan selalu menjadi satu-satunya temanku untuk berkeluh kesah. Laki-laki itu tak pernah menangis bagiku itu hanya sebuah lagu, ya hanya lagu yang digunakan untuk mengubur kesedihan hati hanya sebatas itu.

Kini aku kembali melangkah di jalan yang sama dimana aku menemukan cinta yang kupikir itulah yang dinamakan cinta sejati. "Tapi apakah akan kutemukan cerita yang sama di jalan ini?" kataku seraya memandang matahari yang perlahan tenggelam menyisakan pendar berkilauan di angkasa.