Sunday, November 24, 2013

Secangkir Cinta dalam Sunyi

          Pagi itu seperti biasanya, perempuan itu duduk di bangku yang terletak di sebelah peron itu. Seakan-akan menanti seorang kekasih yang entah kapan akan kembali. Aku hanya bisa termenung dan memandang ke arahnya tanpa berani menyapa dirinya

"Mas, ada espresso tidak?" tanya seorang bapak tengah baya dengan sopan yang mengembalikanku ke realita.

"Wah, maaf pak kedai ini baru mau di buka" jawabku

"Oh, ya sudah" kata pria itu sambil berlalu

            Sudah kebiasaanku untuk menghabiskan pagi ku di stasiun itu, karena aku harus membuka kedai kecil yang lusuh ini. Perempuan itu selalu duduk di tempat yang sama setiap pagi dan orang berlalu lalang sambil menyapanya dan ia hanya bisa tersenyum untuk membalas sapa tiap orang. Pagi berganti menjadi siang dan kedai ini telah penuh sesak oleh banyak pelanggan yang selalu berdatangan untuk membeli segelas penyegar untuk dahaga mereka. 

     Tiba-tiba terdengar suara lonceng tanda ada pelanggan baru yang datang, "Selamat datang" sapaku ramah seraya menyerahkan daftar menu kepada pelanggan dan memberi kode untuk salah satu rekan kerjaku untuk mencatat apa yang diinginkan oleh pelanggan yang ku tinggalkan itu. Dia mulai melangkah maju dan tak ku sangka bahwa pelanggan baru itu adalah perempuan yang biasa duduk di pojokan peron stasiun. "Mau pesan apa?" tanyaku seraya menunjukkan daftar menu yang baru saja ku ambil dari konter. 

      Dia tidak menjawab hanya menunjuk salah satu menu yang ada dan aku kembali menanyakan apakah ada tambahan lain dia hanya menggelengkan kepala. Setelah aku memberikan menu yang telah dipesan kepada barista yang telah siap sedia di samping mesin kopi, aku beranjak dan siap untuk menerima pesanan namun aku merasa seakan-akan aku pernah mengalami situasi seperti ini dan benar saja ketika aku melihat ke arah perempuan itu aku melihat dia duduk di tempat dimana aku menemukan cinta pertama ku. 

        Rasanya baru kemarin saja aku bertemu dengan cinta pertamaku, walau sebenarnya peristiwa itu sudah lama terjadi. Perempuan itu sangat mirip dengan cinta pertamaku, rambutnya bahkan harum tubuhnya membangkitkan memori yang bahkan hampir memfosil di dalam benakku.

        Masih ku ingat hari itu, hujan turun dengan perlahan dan mentari masih urung menunjukkan senyumnya. Aku hanya diam dipinggir konter sembari membaca novel yang tidak ku baca dengan sungguh-sungguh karena aku hanya ingin mengusir kesepian yang datang bersama dengan hujan yang mengguyur. Jam menunjukkan angka delapan, seharusnya kedai ini semakin ramai namun kenyataannya sedari tadi pagi jumlah pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari tangan. Para pegawai pun mulai meninggalkan kedai ini karena ku pikir tak akan ada pelanggan lagi untuk hari ini. Tanpa ku sadari pintu kedai terbuka, ku pikir hanya angin malam yang secara tidak sengaja membuka pintu tersebut namun ternyata yang membuka pintu itu adalah seorang pelanggan yang parasnya amatlah cantik. "Maaf mbak, tapi kedai ini baru saja akan tutup" namun kataku itu hanya ku pendam dalam hati setelah ku cermati dengan seksama bahwa perempuan itu basah karena hujan yang mengguyurnya dengan kejamnya.
   
"Mau pesan apa mbak?" tawarku sekalipun tinggal kami berdua yang ada di kedai itu tanpa adanya pegawai lain yang biasa meracik kopi.

"Ada latte nggak mas?" tanyanya.

"Ada, tunggu sebentar ya mbak" jawabku sembari tersenyum padanya dan mencoba membuat latte pertamaku.

        Sesampainya di tempat meracik kopi aku binggung setengah mati karena yang biasanya mercaik kopi atau biasa disebut barista sudah pulang namun ada satu yang ku ingat dari perkataanya ketika aku bertanya padanya tentang bagaimana meracik kopi dengan komposisi yang pas dia hanya menjawab bahwa cara membuat racikan yang pas adalah dengan cinta.

"Mampus deh, cinta? Tapi masa hanya dengan cinta dapat membuat komposisi yang nikmat bagi pencicipnya?" Aku mulai ragu dengan diriku sendiri.

"Mas, itu yang di depan siapa ya? Pelanggan bukan?" kata barista yang ternyata belum pulang dan mengagetkan ku setengah mati.

"Iya mas, yakin hanya dengan cinta dapat membuat racikan yang pas?" tanyaku.

"Yakin aja mas" jawabnya sambil tersenyum.

        Setelah selesai menyiapkan bahan, meracik bahan, dan latte pertamaku siap untuk disajikan aku langsung membawanya di atas nampan. Dengan hati-hati dan perlahan aku berjalan menuju tempat pelanggan sekaligus cinta pertamaku, suasana malam yang mulai terasa dingin dan bulan yang perlahan mulai memancarkan sinarnya menemani kita berdua.

"Ini mbak lattenya, mbaknya keberatan tidak saya duduk di sebelah mbak?" tanyaku

"Nggak" jawabnya sekaligus tersenyum yang menambah romantisme malam itu

        Tiba-tiba barista lewat meninggalkan aku dan dirinya sambil mengacungkan jari jempolnya padaku dan ku sadari bahwa cinta pertama ku juga melihat kejadian itu tertawa kecil seakan menganggap kejadian itu lucu baginya.

"Lattenya enak nggak?" tanyaku mengawali percakapan itu

"Lumayan mas" jawabnya

"Lumayan gimana mbak? lumayan buruk ya hehehehe?" candaku

"Nggak mas?" katanya sambil tersenyum

        Aku dan dia menghabiskan malam itu dengan canda dan tawa menghangatkan suasana malam yang melenakan kita berdua. Hari demi hari berlalu cinta pertamaku selalu datang berkunjung entah hanya menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang denganku maupun bercanda ria dengan diriku. Pada akhirnya aku mengungkapkan perasaan yang sebenarnya sudah ada padaku sejak awal kita bertemu. Awalnya dia tidak menjawabnya dan mencoba mengalihkan topik yang ku anggap bahwa dia menolak rasa yang telah ku ungkapkan. Yah, namun semua itu hanya asumsi dariku karena perlahan-lahan dia mulai jarang mengunjungi kedai kecil ini.

        Tiba-tiba datanglah sepucuk surat dan setangkai bunga mawar yang entah dari siapa. Ku baca surat itu dengan perlahan dan tak terasa bahwa air mata ini mulai mengalir.

"Maaf, bukan maksud hatiku untuk menolak maupun mengabaikan perasaan yang kau berikan padaku namun satu hal yang perlu kau tahu bahwa sulit bagiku untuk membuka hatiku lagi setelah peristiwa kelam yang pernah aku alami sebelumnya dan menikmati waktu-waktu yang ku habiskan denganmu semua itu sangat berharga bagiku dan perasaan ini layaknya bunga mawar yang dapat mekar dengan indahnya namun duri yang ia miliki dapat dengan tajam menusuk diriku" begitulah sepenggal isi dari surat itu.

        Semua itu terasa memberatkan bagi hatiku, namun apapun yang terjadi dunia masih akan terus berputar dan aku tidak bisa selalu terkungkung dalam satu titik sekalipun itu adalah titik dimana aku mengalami depresi terbesar yang pernah ku alami.

        Dugaanku tak pernah salah walaupun ku pikir itu hanya perasaanku saja. Namun, harus berapa lama lagi aku menunggu? Harus berapa banyak lagi air mata yang harus terus menetes? Pada akhirnya aku melihat lagi sosok yang sama seperti yang dulu pernah mengisi hari-hariku tapi apakah cerita itu akan kembali terulang? Mampukah aku membuka pintu hati yang telah lama tersegel?

"Mas, mas cappuccino nya sudah siap" kata barista sambil menepuk pundakku

"O yaudah mas, ini pesanannya siapa ya?" tanyaku kepada barista itu

"Mikirin yang dulu lagi ya mas? menurutmu ini apa mas?" balas barista itu seraya mendekatkan cappuccino ke arahku

       Aroma hangat yang bercampur dengan susu yang sangat manis, mengembalikan fokusku yang sempat buyar karena melihat perempuan itu. Setelah memindahkan cappuccino dari tangan sang barista ke nampan yang sudah ku persiapkan, aku menuju ke tempat dimana perempuan itu duduk. Ku pandangi wajahnya yang mengarah ke luar jendela memperhatikan hujan yang turun dengan perlahan bersamaan dengan air matanya yang juga mengalir dengan perlahan. "Mbak ini cappuccino nya" kataku dengan sopan seolah-olah tidak melihat peristiwa singkat itu. Ia mulai menyeka bulir-bulir air mata yang menghiasi pipinya dan tersenyum kepadaku seakan-akan menunjukkan secercah sinar diantara kegalauan yang ia alami. "Ada apa mbak?" tanyaku karena rasa ingin tahu yang timbul secara tiba-tiba. Ia hanya menggelengkan kepala yang menandakan dia baik-baik saja namun sorot matanya mengatakan ada hal lain.

      Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu hidupnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang ku unggap mengusik kehidupan pribadinya, namun lagi-lagi rasa ingin tahu ku lebih besar dari rasa malu ku untuk menanyakan hal itu. Ia memulai membuka mulutnya ku kira ia hendak berbicara namun ternyata ia langsung menutup mulutnya dengan tangannya. Ia mulai membuka tas yang sedari tadi ia bawa dan mengeluarkan sebuah catatan kecil dan alat tulis dan menuliskan kata "Hai, siapa namamu" dan memberikan catatan nya kepada ku "Kevin, kamu ?" tulisku seraya mengembalikkan catatan kecil itu padanya “Mika”. Aku dan dia menghabiskan senja di temani dengan para pelanggan yang berlalu lalang dan perlahan di ikuti oleh para pegawai menyisakan aku dan dia yang bercanda tawa di temani oleh berlembar-lembar catatan yang penuh terisi dengan coretan-coretan yang tersusun sedemikian rupa yang menyampaikan perasaan yang ada di dalam diriku dan dirinya dan kita menyampaikannya lewat lembaran-lembaran kertas.

      Ada sebuah perasaan yang sempat mengganjal dalam batinku dan pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di dalam otak ku namun semua itu hanya ku pendam tanpa berani mengungkapkannya karena ku rasa hal itu akan mengusik dirinya dan membuatnya menjauh dariku. Hari mulai berganti, tiap pagi ia mulai menyapa ku dengan caranya yang unik yaitu menepuk pundak ku dan tersenyum kepadaku seakan-akan kita telah berkenalan sejak lama. Ia mulai rajin mengunjungi kedai ku dan berhenti meninggalkan kebiasaan lamanya yaitu berdiam diri sembari duduk di bangku di pinggir peron itu. Sebenarnya aku cukup senang dia sering mengunjungi kedai kecil ini sekalipun ia tak memesan apapun dari daftar menu. Tapi ada satu hal yang aku takutkan bahwa tragedi yang pernah terjadi dalam hidupku akan terulang kembali. 

       Namun pagi itu tidak seperti biasanya, dia tidak datang ke kedai ini bahkan semenjak pagi tadi tak ku lihat dirinya ada di stasiun ini. "Adakah sesuatu terjadi padanya?" pikirku sembari mulai membuka kedai kecil ini dan membalik tanda tutup menjadi buka. Walapun hujan namun akhir-akhir ini kedai tidak pernah sepi oleh pengunjung karena adanya menu baru yang cukup menarik bagi mereka. Sepanjang hari itu hujan turun dengan derasnya seakan-akan hendak mengulang peristiwa yang pernah terjadi, senja kembali turun dan kabut kembali datang dengan perlahan dan pengumuman keberangkatan dan kedatangan sudah berhenti berkumandang. 

      Petugas yang berkerja di stasiun, biasanya datang ke kedai ini pun sudah tidak ada yang datang lagi dan jumlah pelanggan mulai berkurang lagi malam itu pertanda bahwa kedai sudah harus ditutup. Hujan telah reda meninggalkan suasana malam mulai terasa dengan hawa dingin yang menusuk tulang, bulan pun seakan-akan tidak ingin menampilkan senyumnya. Seakan-akan hanya aku sendiri di semesta yang luas ini, tanpa adanya seorang pun yang menemaniku menghalau kesepian yang secara tiba-tiba menyerang seluruh persendian ku. Aku berharap dia hadir menemani diriku entah hanya sekedar melepas penat dengan menuliskan segala suatu yang ku rasakan pada dirinya melalui kertas-kertas yang ada dalam catatan kecilnya. Tak ku duga apa yang ku harapkan menjadi sebuah kenyataan dia datang namun ada sebuah kejanggalan yang aku rasakan, biasanya ia selalu membawa tas namun kali ini ia tidak membawanya dan menimbulkan sebuah pertanyaan besar pada diriku “Mengapa, ia tidak membawanya? Apakah ada sebuah alasan di balik tingkah lakunya yang janggal akhir-akhir ini?”

“Uhm, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu” katanya memulai percakapan, aku dulu sempat berpikir bahwa Mika memiliki sebuah alasan di balik kebungkaman dirinya.

“Eh, ada apa ya mik?” tanyaku setengah takjub tak percaya akhirnya Mika berbicara padaku

“Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ku bicarakan kepada mu sejak dari dulu” katanya

“Tentang apa ya?” tanyaku menanyakan tujuan dari kedatangannya yang mengejutkan diriku

“Aku...” dia tidak melanjutkan kata-katanya dan langsung berlalu ke arahku dan memeluk diriku seraya menangis dan mengatakan “Aku cinta padamu”.