Sunday, July 20, 2014

Family Bussiness

    Yah, memang untung tak bisa diraih dan malang tak bisa ku tolak untuk kesekian kalinya di pagi itu. Bermandikan peluh ditambah air liur guguk (yang bisa dibilang agak ga bingitz keles bagi orang-orang alay) aku mencoba untuk berdiri dibantu uluran tangan dari Elisa. Hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah kesan garang yang dimiliki oleh ayah dari Elisa macam kepala polisi bagian khusus interogasi penjahat psikopat dan mungkin saja percakapan kita akan menjadi seperti ini:

“Oh, jadi kamu yang namanya Noel?” tanyanya sambil mengarahkan lampu meja yang diubah menjadi lampu sorot ke wajahku

“Ehhhh, uhhhh, errrmmm” kataku gagap

“Jawab yang jelas!” serunya sambil menggebrak meja

Ruangan menjadi sepi untuk beberapa saat

“Kita bisa melakukan hal ini dengan cara yang mudah atau yang lebih sulit, dan hal ini tergantung pada seberapa jauh anda kooperatif dalam kasus ini” kata ayah Elisa bak petir di siang bolong

    Dan kejutan ke arah tulang rusukku membangunkanku dari asumsi yang seakan-akan nyata tersebut. Kejutan berupa sikuan dari Elisa membuatku menatapnya cukup lama, definisi kata cukup mungkin tak bisa menggambarkan segala perasaan yang aku rasakan pada kala itu. Tatapan mata Elisa seolah-olah mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja asal kita bersama dan hal inilah yang membuatku was-was karena seketika itu juga, aku mengingat salah satu tokoh anime yang bernama Yuno Gasai.

    Ternyata, ayah dan ibu Elisa tak seburuk apa yang aku pikirkan. Setelah aku bertanya tentang dimana letak dari kamar mandi, ayah Elisa langsung memberikan arahan kepadaku dengan serinci-rincinya. Sesampainya di lorong terakhir, aku kebingungan antara berbelok ke arah kiri atau ke kanan. Yang menambah bingung adalah di ujung kedua belokan ada sebuah pintu dengan warna dan corak yang sama sehingga tanpa berpikir lebih panjang aku membuka pintu yang berada di sebelah kanan ku.

"Eh" kataku kaget saat mendapati diriku berada di sebuah kamar tidur yang berwarna serba pink

"Ada apa ya kak?" kata seorang anak perempuan yang kurang lebih seumuran dengan ku, yang menurutku adalah pemilik kamar tersebut.

"Eh, nganu" ujarku seraya mundur hendak keluar dari kamar tersebut dan tanpa ku sadari kaki ku terantuk pada suatu benda dan aku pun kehilangan keseimbangan

*blank*

  Maybe for a while or long time karena aku nggak bisa memprediksi berapa lama aku kehilangan kesadaran ku.

"Lho Noel sudah bangun?" tanya ibu Elisa dengan suara yang lembut

"Tadi ada apa ya tante?" kata ku sembari mencoba menyesuaikan fokus mataku karena intensitas cahaya di ruang keluarga tersebut

"Kepala mu terbentur ke lantai dan kami memindahkan mu setelah mendengar teriakan dari Andela" katanya mencoba menjelaskan hal itu kepada ku

    Dan ku sadari bahwa Elisa tertidur di sampingku dengan posisi kepala di atas sofa dan badan terduduk (ya iyalah masak kepala di bawah kaki di atas, itu mah koprol). Entah aku memandang ke arahnya untuk berapa lama hingga ibunya hanya tersenyum ke arah kami dan meninggalkan kami berduaan. Lalu aku mulai membelai rambutnya dan mengenang hari di mana ia menjaga ku dahulu saat aku mendapat kecelakaan setelah first kiss kami. Saat itu terasa sangat romantis tak ada siapapun kecuali kami berdua di ruang keluarga yang tidak terlalu besar tersebut, hanya ada beberapa sofa dan perabotan. 

"Noel jangan dimasukkin cepet-cepet" igaunya

   Nah ini, yang paling menjengkelkan saat kami hanya berduaan dan Elisa tertidur. Kalau orang di desaku mengatakan perempuan seperti Elisa itu otaknya kopong atau kosong tapi menurutku dia hanya gesrek, gesrek permanen. 

*pyar*

      Terdengar suara suatu benda pecah dan hal ini membangunkan Elisa yang mengarahkan pandangannya ke arah ku dan kami berdua mengangguk hendak memeriksa apa yang sedang terjadi. Perlahan kami berdua atau lebih tepatnya aku, membuka pintu dan mendapati Andela terduduk ketakutan seperti telah melihat hantu atau semacamnya.

"Ttttaddi.... aku denger" ujarnya tergagap-gagap dan langsung membuatku menutup mulutnya dengan tangan ku dan tanganku yang satunya mengarahkan jari telunjuk ke bibirku

Aku tahu apa yang ia dengarkan, dan menurutku dia berasumsi bahwa di ruang keluarganya telah terjadi suatu peristiwa yang heboh. Elisa tidak menghalangi diriku dan kami pun membawa Andela ke ruang keluarga lalu menguncinya.

"Tolong jangan nodai aku seperti kamu menodai kakak ku!" teriaknya yang mungkin terdengar hinga lantai kedua di mana orang tua Elisa berada

"Pfffffttt" aku dan Elisa mencoba menahan tawa

"Bukannya tadi kak Noel dan kakak melakukan hal begituan" katanya dengan polosnya

"Tadi, kakakmu ini sedang mengigau" kataku sambil memeluk Elisa dan tersenyum ke arah Andela

"Ooohh" ujarnya

"Eh, kayaknya udah sore kita jadi jalan ga?" tanya ku ke Elisa

"Tapi kamu yakin udah bisa jalan el? Kan kepalamu ringkih" katanya seakan-akan kepalaku bisa retak kapan saja

"Ah, udah deh jadi apa kagak nih?" lanjutku

"Iya deh" jawabnya yang langsung memanggil orang tuanya 

Setelah kami berpamitan, selama di perjalanan menuju pusat perbelanjaan (dibaca: mall) aku bertanya-tanya tentang Andela.

"Andela tu sapa mu sih? Saudari apa siapa El?" rasanya aneh menggunakan nama panggilan sendiri pada orang lain

     Pada awalnya kami cukup canggung menggunakan nama tersebut tapi kini nama panggilan itu mirip dengan say, atau beb yang sering digunakan oleh orang yang sedang berpacaran. Oke kembali ke topik pembicaraan semula dan inilah jawaban Elisa:

"Sebenarnya dia saudari sepupuku" jawabnya

"Oh, di Jakarta ngapain?" sambungku

"Lho kamu nggak tahu Andela member JKT48 gen 3?" katanya setengah kaget

   Setelah mendengar hal ini, kopi yang aku minum hampir saja keluar dari mulutku karena cukup kaget mendengar fakta yang keren ini. Hal ini seakan-akan mengetahui bahwa selama ini member JKT48 merupakan tetangga sebelah rumahku (oke, ku akui aku nggak terkejut mengingat di samping rumah ada si Naomi dan si Viny) tapi entah mengapa fakta bahwa Andela adalah saudari sepupu Elisa cukup mengagetkan ku. 

     Entah berapa lama Elisa keluar-masuk bilik ganti untuk membeli baju yang menurutku cocok (yang beli baju dia kenapa yang disuruh milih aku?) kami menuju toko buku karena aku ingin membeli suatu buku. Tak berselang berapa lama Elisa juga ingin membeli buku sehingga kami terpisah dan berjanji untuk bertemu di pintu masuk (atau pintu keluar) toko buku tersebut. 

    Dan aku pun melihat buku tersebut yang stoknya tinggal satu di toko buku tersebut, buku assassin creed yang seperti harta karun bagiku. Langsung saja aku berlari dan mengambil buku tersebut dan tanpa ku sadari ada orang lain juga yang ingin mengambil buku assassin itu. Buku itu pun terjatuh dan saat aku hendak mengambil untuk kedua kalinya sekilas aku memandang ke arah orang tersebut, sebuah kata terselip dibenakku, Michelle. Mungkin ini hanya asumsi atau opini ku saja yang bisa saja salah tapi langsung saja aku memberikan buku tersebut kepadanya.

    Tanpa banyak tanya ia tersipu malu dan berlalu meninggalkanku di tempat tersebut. Ku sadari bahwa dia meninggalkan sesuatu di lantai dan saat aku hendak membacanya datanglah Elisa menepuk bahu ku dari belakang.

"Udah dapet bukunya?" tanyanya padaku

"Stoknya abis" kataku

"Ya udah pulang yuk" Ajak Elisa

    Saat kami melewati sebuah konter es krim, aku membelikan Elisa sebuah es krim dan kami pun langsung menuju halte trans jakarta. selama di perjalan aku dan Elisa menikmati es krim tersebut dan lagu dari Iphone 

"Ku ingin hembuskan gelisah di dada dengan nafasku" lagu itu mulai berputar

"Kamu ingat lagu ini nggak?" tanyanya yang memandang ke arah mata ku

"Gimana bisa lupa ini kan lagu pas kita pertama kali ketemu" kata ku jujur.

"Kamu inget ga....." belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, aku langsung mencium bibirnya dan ia pun tidak menolak ciuman tersebut.

    Kami larut dalam romansa perkotaan Jakarta dengan kerlap-kerlip lampu jalanannya dan tak mempedulikan orang di sekitar. Bagi ku yang penting saat itu hanya lah diriku, dirinya, dan JKT48. Semoga saja ini tidak menjadi kali terakhir kami bersenang-senang karena hari ini adalah hari terakhir liburan yang kami miliki sembari memegang kertas yang Michelle jatuhkan.