Wednesday, September 16, 2015

Roman Picisan


      Sebuah rutinitas atau pola biasa terjadi setelah adanya dinamika di sekitar kehidupan kita, aku masih menunggu di sini, di tempat di mana seharusnya telah ku tinggalkan sejak dulu. Ia masih sama, masih seperti apa yang aku ketahui, tidak berubah sedikit pun.

     Ia tersenyum, entah untuk siapakah senyuman terindah itu ia berikan, senyum yang sepedih kenangan yang selalu teringat dalam angan. Mungkin hanya aku yang merasa atau mungkin ia juga merasakan hal yang sama?

"Hai" sebuah ucap terlontar dan membuyarkan lamunan ku

"Yep" spontan kata terucap dari mulutku

"Gimana latihan dramanya?" tanyanya dengan sedikit nada ragu yang membuatku bertanya-tanya

"Ya begitu lah" jawabku dan perlahan beranjak meninggalkannya

     Mungkin meninggalkan bukanlah kata yang tepat karena aku tak pernah mencoba mendatanginya. Ku tatap panggung di mana aku harus berlatih, dengan nanar yang perlahan mulai pudar karena rapuhnya.

"Gimana, udah dapet fill nya kan?" tanya sang sutradara

     Ia merupakan mentor sekaligus guru yang selalu menemani dinamika yang selama ini terjadi, tapi sosoknya kini yang perlahan mulai menua membuatku semakin sungkan untuk bertemu dengannya.

"Hehehehehe udah kok pak" tanya ku sembari menunjukkan senyum yang memang sengaja ku buat

     Sebenarnya aku mulai lelah dengan semua ini, semua retorika yang tercipta karena suatu perasaan yang terpaksa dan dibuat-buat. Dan telah berulang kali aku mencoba untuk mendalami peran yang sebenarnya memang tidak aku sukai.

   Panggung masih kosong, sepertinya hari ini tidak akan ada yang berlatih selain diriku. Seperti biasa, aku mulai mendalami peran dan mencoba untuk menghidupi peran tersebut. Lalu ia datang dan langsung mencoba berlatih dengan diriku.

"Sepertinya kita bisa....." sedikit jeda keluar dari mulutku

"Tidak" jawabnya singkat dengan penekanan nada pada setiap intonasi kata

"Tapi...." kata ku mulai meragu

"Bukankah sudah beratus-ratus kali ku katakan tidak" tatapan dingin ia berikan pada ku lalu ia pun pergi

   Semua kata dan gestur yang ku lihat memperlihatkan keengganan dirinya untuk membuka dirinya. Entah ini hanya perasaanku saja atau sebuah kenyataan yang harus aku jalani.

   Dan surya pun mulai menyampaikan salam perpisahannya padaku, hujan rintik mulai membasahi permukaan bumi dan akupun mulai melintasi trotoar sembari bersenandung. Mungkin ini yang terbaik untuknya, atau haruskah aku mencoba melupakan perasaan semu ini? 

   Hingga tibalah diriku di sebuah persimpangan dan ku lihat dirinya berboncengan dengan orang lain. Aneh, mengapa aku tidak merasakan amarah atau bahkan secuil rasa cemburu? Ini terlalu aneh bahkan untuk diriku, seorang introvert yang tidak pernah bisa menyampaikan apa yang sebenarnya aku rasakan. 

  Pagi ini masih mendung, seperti hari-hari yang telah berlalu. Aku pergi menuju halte bus di mana aku biasa menunggu bus setiap harinya. Dan ia pun duduk di pinggir kursi tempat menunggu bus.

"Hai" sapa ku dengan perasaan riang yang mungkin sengaja ku buat

  Ia tidak membalas nya, mungkinkah kondisi yang ia rasakan lebih berat daripada tekanan yang aku rasakan? Atau mungkin fisik nya sudah tidak kuat lagi untuk menahan beban yang ia rasakan karena diriku?

"Hai..." ia pun mulai berucap

   Iya, aku tahu ia sedang sakit entah karena suatu penyebab yang membuatku pusing jika harus menelisik. Dan bus pun datang lalu aku dan dia memasuki nya.

     Mungkin aku dan dia hanyalah teman seperjalanan, atau mungkin pertemuan ini hanyalah suatu kebetulan yang kejam? Entah.